15

329 12 1
                                    

Danzel menatap cewek yang kini makan dengan rakus di depannya. Sepiring Kentucky Fried Chicken dan fried potato sudah dia lahap dan kini hanya bersisa sedikit. Danzel heran, perasaan tadi dialah yang mengajak cewek itu untuk menemaninya sarapan, meskipun itu hanya alibi agar pikirannya jauh lebih baik. Tapi kenapa jutru Clarisa yang begitu bersemangat makan.

"Loe nggak makan?" Tanya Clarisa acuh dengan mulut yang masih mengunyah. Dilihatnya makanan yang ada di depan Danzel masih utuh dan belum tersentuh. Hanya sodanya saja yang kelihatan sudah berkurang sedikit.

Danzel menghela nafas, dilemparkannya tisu ke depan muka Clarisa.

"Loe bisa sedikit berwibawa nggak sih?" Tanyanya kemudian.

Diam-diam dia mulai membandingkan kelakuan Irene dan Clarisa. Irene selalu memperlihatkan ke-kharismatik-annya di depan Danzel. Bahkan dulu saat mereka berkencan dan makan, Irene selalu tidak pernah menghabiskan makanannya dengan alasan kenyanglah, dietlah. Namun Clarisa berbeda. Seolah tak ada yang perlu disembunyikannya di depan Danzel. Clarisa terlihat alami, apa adanya.

"Kenapa, emang gue laper kok." Jawab Clarisa acuh dan menyudahi acara makannya karena makanan di piringnya sudah habis.

"Tuh banyak yang ngelihatin loe."

"Bodo."

Danzel bedecak sebal. Untung saja cewek itu tidak bersendawa, kalau iya dipastikan Danzel akan meninggalkannya begitu saja ditempat itu tanpa berkata apapun.

"Mereka tuh bukan ngelihatin cara makan gue, tapi ngelihatin kita. Di jam segini, nge-mall terus pakek seragam lagi." Clarisa beralibi.

Danzel tidak menyahut, ia hanya menyruput sodanya perlahan.

"Kenapa sih pakek acara bolos segala? Gue 'kan ada bimbingan buat acara lomba."

"Gue males sekolah."

"Why?" Clarisa menatap Aidan tidak percaya.

"Bagi gue sekolah itu nyenengin tau. Coba bayangin, kita hanya disuruh duduk dengerin guru ngomong, terus dikasih uang jajan sama orangtua. Gimana nggak nyenengin coba? Terus ya........"

"Sekalian ngecengin Aidan kan?" Potong Danzel.

Clarisa mendelik.

"Ya enggaklah. Gue bukan selera dia keleeees......."

"Baguslah kalau loe sadar diri!" Cibir Danzel.

Sialan!

"Udaaaah nggak usah ngejekin gue. Loe kenapa nggak mau sekolah?" Wajah Clarisa berubah serius.

Danzel menatap mata Clarisa.

"Lupakan." Jawabnya kemudian membuang muka kearah jalan besar. Dimana lalu-lalang kendaraan semakin padat merayap.

Clarisa menghela nafas. Matanya menangkap luka lebam di pipi Danzel saat cowok itu memalingkan muka.

"Apa karena lebam di pipi loe itu?" tanya Clarisa hati-hati. Dia tidak ingin Danzel merasa tidak nyaman dengan perkataannya. Karena selama ini image-nya adalah seseorang yang tangguh dan kuat.

Seperti dugaan Clarisa, cowok itu tidak menjawab. Dia malah pura-pura asyik dengan kendaraan-kendaraan yang dilihatnya.

" Sehari ini gue buat loe!" Seru Clarisa tiba-tiba. Pikiran prihatin dan ingin membuat Danzel senang membuatnya begitu saja mengeluarkan kalimat itu dari mulutnya. Dan sesaat kemudian, Clarisa merutuki dirinya sendiri karena menyesal sudah menawarkan dirinya buat cowok gaje tersebut. Dia tidak menawarkan diri saja hidupnya selalu dipersulit oleh Danzel, apalagi kini ia menawarkan diri. Sama seperti datang ke sarang penyamun.

My Badboy  (COMPLETE)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang