30

268 13 0
                                    


"Sebentar!" Mey melipat tangannya di depan dada.

"Jadi maksud loe, Danzel dan Aidan itu saudara kembar. Tapi kenapa mereka nggak mirip?"

Clarisa mendengus, kemudian meletakkan bantal yang sejak tadi di pangkunya ke sofa.

"Itu namanya kembar nggak identik!' Jawabnya lugas.

Mey mangut-mangut. Dia kembali sibuk dengan liptint yang di pegangnya. Hari minggu pagi yang segar ini, dia menghabiskan waktunya di kamar Clarisa sebelum nanti siang Aji menjemputnya untuk berkencan.

"Nggak nyangka gue kalau selama ini mereka berdua itu saudara. Gue pikir, kalau ketidakcocokan mereka itu perihal cewek di masa lalu mereka. Eh ternyata bukan." Gumam Mey lagi tanpa menoleh kepada Clarisa. Ia sibuk memoles liptint warna peach itu di bibirnya.

Clarisa tidak menjawab. Sejak tadi ia fokus dengan handphone-nya yang sunyi sesunyi kuburan. Sejak semalam setelah pertemuan itu, Danzel sama sekali tidak menghubunginya. Bukankah aneh? Padahal biasanya, tanpa Clarisa minta cowok itu akan sekonyong-konyong menghubunginya meskipun tak ada hal penting sekalipun.

"Loe kenapa sih Ris?" Mey menoleh kepada Clarisa, menatap penuh tanya sahabatnya yang terlihat galau bukan kepalang itu.

"Gue penasaran kemana Danzel dari semalam."

Mey mengeryitkan kening.

"Dia nggak ngehubungi loe emang?"

Clarisa menggeleng.

"Dia marah sama loe?"

Sekali lagi Clarisa menggeleng.

"Enggak tau. Pokoknya dia aneh."

Mey mendesah.

"Mungkin dia lagi galau juga. Di satu sisi, dia tak ingin hubungannya dengan Aidan diketahui orang lalin, tapi nyatanya sekarang seluruh penghuni sekolah bahkan ibu kantin pun tau kalau mereka saudara. Dan kedua, dia mungkin juga nggak percaya kalau Dika adalah sahabat yang diam-diam mencelakai cewek yang dicintainya."

Clarisa tidak menjawab. Dia lebih memilih memainkan ujung bajunya dengan jemarinya. Mungkin memang benar semua ini gara-gara dirinya.

***

Mengurangi stres, akhirnya Clarisa memutuskan untuk keluar rumah sore ini. Sekedar melepaskan kekesalan hatinya karena sejak tadi malam Danzel tak kunjung menghubunginya. Iyalah, lebih baik ke taman kota, beli es cendol atau bakso bakar pedas agar pikirannya tidak dipenuhi nama cowok itu.

Tapi nyatanya, setibanya di taman Clarisa malah semakin kesal karena di penjuru tempat hanya ada muda mudi yang tengah pacaran. Hatinya panas, mereka seolah sedang mengoloknya karena saat ini sedang galau.

"Akh, tau gitu gue nggak kemana-mana aja tadi!" Dengusnya, menghempaskan diri di sebuah bangku taman yang masih kosong. Dari sekian banyak bangku di taman itu, hanya bangku itulah yang masih belum berpenghuni.

Cewek itu menatap es cendol yang dipegangnya. Dingin. Sedingin hatinya saaat ini, tanpa Danzel. Clarisa menyadari bahwa sekarang dia sudah menjadi budak cintanya Danzel. Cih!

"Hai.....Ris....." Sebua suara familiar membangunkan Clarisa dari pikiran-pikiran panjangnya.

Cewek itu mengangkat wajah. Aidan sudah berdiri di depannya sambil tersenyum. Cowok itu membawa sebuah Anjing kecil lucu berwarna brown.

"Aidan? Hai...." Clarisa tersenyum getir.

Semenjak kejadian kemarin, dia sama sekali belum bertemu dengan Aidan. Bahkan menelponnya pun tidak. Clarisa merasa canggung, terlebih jika mengingat saat cowok itu mengakui perasaannya pada Clarisa di depan semua orang.

Aidan tersenyum, mengikatkan tali anjing yang dibawanya di gagang kursi, kemudian duduk di sebelah Clarisa.

"Tumben kita ketemu disini." Gumamnya kemudian, dengan sikap biasa saja seolah tak terjadi apa-apa.

Clarisa tersenyum.

"I...Iya....."

Aidan menoleh.

"Loe nggak usah canggung gitu sama gue."

Clarisa nyengir. Sebisa mungkin ia menutupi rasa canggungnya, namun berhasil terbaca Aidan dengan mudah.

"Gue tau loe kaget. Loe enggak nyangka bukan kalau gue sama Danzel itu saudara kembar?" Aidan mengalihkan pandangannya kearah anjingnya yang tengah bermain-main dengan ekornya.

Clarisa mengangguk pelan. Tapi sebenarnya bukan itu saja yang membuat Clarisa terkejut. Pengakuan Aidan tentang perasaannya juga membuat hati Clarisa ketar-ketir.

"Sejak kecil, karena papa dan mama pisah, gue dan Danzel akhirnya juga berpisah. Gue ikut mama dan Danzel ikut papa. Dan sejak saaat itu, hubungan kita buruk. Danzel selalu mengira, bahwa guelah penyebab mama tidak membawanya ikut serta. Tapi sebenarnya bukan, Danzel harus menemani papa. Itu yang diinginkan papa. Dan Danzel membenci gue. Dia nggak mau ketemu mama, dia nggak mau menganggap gue sebagai saudaranya."

"Sebenarnya gue juga kasihan sama Danzel. Dia tak punya siapa-siapa. Bahkan dia juga tidak akur dengan papa dan istri barunya."

Clarisa tidak menjawab. Ia menunduk. Diam-diam ia kembali merindukan Danzel. Sedang apa cowok itu sekarang?

"Loe pasti terkejut karena kata-kata gue kemarin Ris?" Aidan menatap awan putih yang berarak di langit.

Clarisa menggigit bibir, kemudian mengangguk pelan.

"Iya, tapi....." Clarisa tidak melanjutkan kata-katanya.

'Tenang....gue nggak memaksa loe buat menyukai gue. gue udah tau, hati loe sepenuhnya hanya buat Danzel. Lagipula, gue juga nggak apa-apa kok." Aidan tersenyum.

"Mungkin kemarin gue hanya terbawa emosi aja."

Clarissa tersenyum kecil.

"Makasih ya..." Clarisa bergumam.

"For what?" Aidan melempar pandang kearah Clarisa.

"Udah nolongin gue kemarin."

Aidan tersenyum.

"Mungkin Cuma itu yang bisa lakukan lalukan buat loe."

Clarisa menggeleng.

"Itu lebih dari cukup. Kalau nggak ada loe mungkin gue udah mati."

"Makanya lain kali ati-ati Ris. Nggak semua orang yang kelihatan baik itu memang baik."

Clarisa tersenyum kemudian mengangguk. Ia mengalihan pandang pada anjing kecil yang dibawa Aidan tadi.

"Em....anjingnya lucu, siapa namanya?" Clarisa menunjuk kearah anjing mungil yang kini menjilati kakinya.

"Namanya Brownie." Jawab Aidan, mengelus punggung anjingnya dengan lembut.

"Kayaknya dia suka sama loe."

Clarisa tertawa kecil. Mengambil anjing itu dan memangkunya kemudian mengelusnya dengan lembut.

"Hai Brownie, kenalin nama gue Clarisa!"

*****

My Badboy  (COMPLETE)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang