16

300 14 0
                                    


Flashback

Cowok dengan pakaian serba hitam itu berjalan pelan masuk ke dalam rumah. Sudah 3 hari, lebih tepatnya sudah 3 malam 4 hari dia tidak pulang ke rumah dan entah berkeliaran di mana.

Hari ini dengan berjalan mengendap berusaha menghindari Ratih, dia ingin segera sampai ke kamarnya dan merebahkan diri.

"Dari mana saja kamu?" Suara berat dan tegas itu membuatnya terpaku sesaat. Siapa lagi? Itu ayahnya yang ternyata sudah menunggunya di ruang tamu dengan wajah sangar seolah bisa melahap apapun yang ada di depannya.

Cowok itu berdecak. Biasanya ayahnya tidak ada di rumah dan sibuk mengurusi pekerjaannya. Dia yakin, jika si wanita itu yang melaporkan pada ayahnya bahwa dia tidak pernah pulang.

"Berhari-hari tidak pulang!"

Cowok itu berdecak lagi, dan seolah tidak ingin mendengar lebih banyak lagi omelan, ia kembali meneruskan langkahnya.

"Danzel!!!" Suara ayahnya menggelegar.

"Kalau papa ngomong tuh dengerin!"

Mau tidak mau Danzel kembali menghentikan langkahnya dan menoleh.

"Kenapa pa? Apa dengan bertanya seperti itu papa sudah terlihat sebagai seseorang yang menyayangi dan peduli dengan anaknya?"

"Jaga bicaramu!" Mata ayahnya memerah. Selalu saja anaknya bersikap tidak sopan padanya. Pria setengah baya itu sampai tidak ingat kapan terakhir kali Danzel memperlakukannya sebagai seorang ayah dan berbicara baik padanya.

Danzel tersenyum sinis, mengedarkan pandangannya ke sekeliling ruangan.

"Mana wanita itu? Wanita yang sudah mengadukan kelakukan Danzel pada papa bak seorang ibu peri?"

"Kamu keterlaluan Danzel!" Ayahnya berjalan mendekati Danzel.

Danzel belum menjawab. Keterlaluan mana antara dia dan pria di depannya tersebut. Sebulan belum berlalu setelah peceraiannya dengan mamanya, namun pria itu sudah membawa wanita lain pulang dan memperkenalkannya pada Danzel sebagai calon ibu barunya. Kalau dipikir waktu itu, seorang gadis berusia 18 tahun mau dijadikan istri oleh seorang pria berusia 40 tahun yang sudah tidak muda, kulit mulai keriput dan perut yang mulai menggendut apa lagi alasannya kalau bukan karena harta. Waktu itu Danzel memang masih kecil. Masih berusia 5 tahun. Namun sampai saat ini, peristiwa itu adalah peristiwa yang tidak pernah bisa dia lupakan seumur hidupnya.

"Ayolah Danzel, berdamai dengan papa. Terima kenyataan..." Gumam Ayahnya melunak.

"Apa? menerima kenyataan? Berdamai dengan papa?"Danzel menaikkan alisnya.

"Danzel akan berdamai dengan papa, asal papa meninggalkan wanita itu!"

"Danzel. Tante Aira itu wanita yang baik, dan papa mencintainya. Ayolah, buka hatimu perlahan buat dia!"

"Cih!" Danzel telihat semakin geram

"Dan Danzel membencinya pah!" Danzel membalikkan badan. Keinginannya untuk pulang barang semalam kembali sirna. Jika tau akhirnya ia akan bertemu dengan ayahnya dan kembali beradu argumen, lebih baik ia tidak pulang saja.

Danzel membuka pintu gerbang rumahnya dengan kasar. Dipakainya penutup kepala dari hodie hitam yang dipakainya, beserta sebuah masker hitam untuk menutupi sebagian wajahnya agar orang yang melihatnya tidak tahu bahwa ia sedang menangis.

Cowok tinggi itu menghentikan langkahnya di sebuah gang sepi di dekat rumahnya kemudian menangis sejadi-jadinya. Gang itu cukup sepi dan biasanya hanya ada beberapa orang yang akan melintasinya karena pencahayaan yang minim.

My Badboy  (COMPLETE)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang