31

244 13 0
                                    


Upacara bendera. Dan Danzel juga sama sekali tak terlihat batang hidungnya. Bukan berarti cowok itu selalu mengikuti kegiatan setiap senin pagi tersebut, namun biasanya dari lapangan upacara kelihatan mobil mini cooper kesayangannya itu sudah terparkir rapi di dekat gerbang sekolah, meski si empunya tidak ada di halaman sekolah.

Clarisa mendesah kecewa. Saat ini seolah Danzel tengah menggantungkan hubungan mereka tanpa sebuah pernyataan yang jelas. Cewek itu menyapu pandangannya ke sekeliling sekolah, di depan sana terdengar kepala sekolah tengah menyampaikan amanat upacara, yang Clarisa yakin hampir 80 % siswa disini tidak ada yang peduli.

"Loe nyari'in Danzel ya?" Bisik Mey menyenggol lengannya.

Clarisa mengangguk pelan. Ia melihat bayangan Joy dan Marko yang berbaris mengikuti upacara tak jauh darinya. Namun, Danzel dan Dika tak kelihatan batang hidungnya. Cewek itu kembali menghela nafas kecewa. Padahal sejak semalam, ia sangat berharap pagi ini akan bertemu Danzel dan menanyakan keadaannya.

Sampai upacara selesai, dan semua murid sudah bersiap masuk kelas untuk pelajaran pertama, batang hidung Danzel juga sama sekali tak kelihatan.

Mey menggamit tangan Clarisa, mengajak cewek itu untuk masuk ke dalam kelas karena sebentar lagi pelajaran Bahasa Indonesia akan segera dimulai.

"Ris.....!" Tiba-tiba suara nyaring Joy membuatnya menghentikan langkah. Joy berlari kearahnya diikuti Marko di belakangnya. Melihat ekspresi muka kedua cowok itu, Clarisa yakin bahwa mereka tidak akan mengumumkan sebuah kabar gembira.

"Ris!" Joy mengatur nafasnya yang sedikit memburu. Maklumlah setelah mendengar berita dari telepon tapi, tak ada yang dipikirkan cowok itu selain Clarisa.

"Kenapa?" Clarisa berusaha santai. Menatap Joy yang membungkuk terengah-engah.

"Danzel....." Joy menunjuk sembarang arah.

"Danzel kenapa?"

"Dia....di rumah sakit!" Sela Marko cepat.

"Hah?"

"Ceritanya panjang. Tapi katanya cowok loe nggak sadarkan diri."

Clarisa menggigit bibir. Tanpa memikirkan apapun lagi, cewek itu langsung melesat, menghambur meninggalkan Mey, Marko dan Joy yang juga masih kebingungan karena berita tersebut.

"Tunggu Ris, gue anter!" Seru Marko mengejar Clarisa yang berlari mirip orang kesetanan.

***

Clarisa berjalan cepat menyusuri lorong rumah sakit. Berita tentang keadaan Danzel yang tidak baik-baik saja tadi sangat memukul hatinya. Apalagi setelah ia tahu bahwa semua hal yang terjadi pada kekasihnya itu adalah karena dirinya.

"Danzel dan Dika berkelahi Ris." Kata Marko di dalam mobil tadi.

"Sebenarnya, Dika-lah yang nyuruh Irene buat nyelakain loe di kolam renang. Karena dia cemburu sama Danzel. Dika nggak terima Danzel pacaran sama loe, karena dia suka sama loe Ris!"

Clarisa menunduk. Kemarin ia sudah mendengar hal itu dari Mey. Entah cewek itu dapat berita dari mana. Tapi yang jelas Clarisa benar-benar tidak menyangka jika Dika berani melakukan hal anarkis seperti sekarang.

"Semua gara-gara gue." Isaknya kemudian. Tangannya mengepal keras, bingung dengan apa yang akan dilakukannya.

"Loe jangan mikir kayak gitu lah Ris. Ini bukan karena loe, tapi karena salah paham antara Danzel dan Dika." Marko berusaha menenangkan Clarisa dari balik kemudi.

Meskipun cowok itu berkata demikian, namun raut wajahnya berkata lain. Dia sendiri juga terpukul dengan berita itu. Apalagi persahabatan mereka bukan main-main. Sejak mereka masih kecil. Dan kini diambang kehancuran karena masalah cewek. Shit!

"Tapi karena gue, persahabatan mereka hancur dan Dika......masuk penjara!"

Marko menghela nafas panjang. Kali ini ia sudah tidak bisa mengatakan apa-apa lagi.

Clarisa terduduk lesu di tepi tempat tidur Danzel. Ia melihat cowok itu terpejam dengan mulut terkunci. Selang infus, masker oksigen dan beberapa peralatan medis lainnya terpasang di tubuh cowok itu. Kata Dokter, Danzel kehilangan banyak darah dan harus lekas di operasi, namun karena golongan darah AB sedikit susah, jadi mau tidak mau Danzel harus menunggu sedikit lagi agar ada pendonor yang mau menyumbangkan beberapa kantong darah untuknya. Tapi jika terlalu lama, dokter khawatir jika keadaan Danzel memburuk.

Clarisa terisak. Cowok di depannya itu tampak pucat, dan lemah. Berbeda dari biasanya.

"Ayolah, bangun....Gue disini buat loe!" Isaknya sambil mengelus pipi Danzel dengan lembut namun tidak ada respon sama sekali.

Clarisa kembali tertunduk. Matanya menerawang menatap lantai keramik warna putih yang terdapat beberapa bercak darah disana. Darah Danzel.

Pikiran Clarisa kemana-mana. Ia harus segera menemukan pendonor itu agar Danzel tertolong.

Clarisa mengangkat tubuhnya tiba-tiba, membuat Marko yang duduk terpekur di sampingnya mengangkat wajah. Cowok itu tak ubahnya seperti Clarisa, ia bersedih. Bagaimanapun Danzel adalah sahabatnya. Meskipun cowok itu sering membuat onar di sekolah, namun saat melihat kondisi Danzel yang seperti ini, ia juga tidak tega.

"Loe mau kemana?" Tanya Marko kemudian.

"Loe tunggu disini. Gue segera kembali!" Clarisa menghambur, meninggalkan Marko yang menatapnya tanpa mengerti.

Clarisa kembali berlari keluar rumah sakit, menuju jalan besar untuk menghentikan taksi. Ada hal lain yang harus dilakukannya, dan ia yakin bahwa hanya itulah yang bisa menyelamatkan Danzel. Aidan! Bukankah cowok itu memiliki golongan darah yang sama dengan Danzel, karena mereka kembar?

Berbekal alamat yang diberikan Mey, yang entah didapatnya dari mana, Clarisa akhirnya sampai di depan sebuah rumah besar berpagar teralis.

Setelah beberapa kali memencet bel dengan asal, akhirnya pagar tinggi itu terbuka dan Aidan muncul dari sana.

"Clarisa?" Aidan menaikkan alisnya tidak percaya.

Tapi benar, jika di cewek yang berdiri depannya ini adalah Clarisa dengan wajah sembab dan penampilan yang awut-awutan tidak seperti biasanya. Bahkan ada beberapa sisa maskara yang sudah luntur di bawah matanya.

"Ayo.....ayo ikut gue!" Clarisa menarik tangan Aidan tiba-tiba, sebelum cowok itu menanyakan maksud kedatangannya.

"Ris ada apa....?" Aidan mengeyitkan kening. Ia masih tak bergeming dari tempatnya.

"Ayo....loe harus nolong gue. Loe harus nolong Danzel!" Seru Clarisa cepat, nafasnya turun naik dan ia terlihat semakin panik.

"Lepasin gue dulu! Danzel kenapa?" Aidan tidak mengerti. Namun ia berhasil melepaskan cengkraman tangan dingin Clarisa dari lengannya.

Clarisa menunduk, terisak kemudian menangis keras. Membuat Aidan semakin bingung dengan tingkah aneh Clarisa.

"Why?" Aidan mendekati Clarisa.

"Aidan tolong.....tolong selametin nyawa Danzel!" Gumamnya bergetar.

"Danzel?"

Clarisa mengangguk.

"Dia kenapa?" Aidan tampak bingung, seketika wajahnya berubah menjadi pucat. Meskipun selama ini dia tidak pernah akur dengan saudara kembarnya tersebut, namun kata-kata Clarisa tadi langsung membuat jantungnya seakan berhenti berdetak.

"Dia....dia ditusuk Dika. Sampai perdarahan. Dan sekarang kondisinya sedang nggak bagus. Dia butuh pendonor, dan gue yakin kalau golongan darah kalian sama!" Clarisa berbicara serampangan.

Clarisa menatap mata Aidan penuh permohonan. Berharap cowok itu bakal luluh hatinya dan mau mendonorkan darah untuk Danzel.

Pandangan mata Clarisa mulai kabur, kepalanya terasa semakin pusing. Entahlah, apa karena perutnya yang belum terisi nasi sejak tadi pagi, berlarian terus kesana kemari dan menangis, membuat badannya terasa lemah dan ingin pingsan.

"Please Aidan, Please! Lupain segalanya. Bantu Danzel." Suara Clarisa melemah, dah tiba-tiba

Buk!

Tubuh gadis situ limbung.

Clarisa pingsan.

"Ris!" Aidan menangkap tubuh mungil itu, namun Clarisa sudah tidak ingat apa-apa lagi.

My Badboy  (COMPLETE)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang