33

264 14 0
                                    

Sudah hampir seminggu Danzel terbaring lemah di rumah sakit. Kondisinya berangsur membaik setelah mendapatkan donor darah dari Aidan. Selama seminggu pula, Clarisa selalu menemani cowok itu. Maka tidak heran jika akhirnya dia mulai akrab dengan papa kandung dan mama tiri Danzel, meskipun cowoknya itu selalu bersikap dingin kepada kedua orangtuanya tersebut.

"Loe harus pulang..." Suara Danzel melemah menatap wajah sayu Clarisa yang duduk disampingnya sedang membaca sebuah novel. Sejak tadi Diam-diam Danzel memperhatikan wajah itu, namun Clarisa tidak menydarinya.

Clarisa menoleh, kemudian meletakkan novel yang dipegangnya.

"Iya nanti gue pulang." Jawabnya pelan. Sebuah jawaban yang sama tiap kali Danzel menginginkannya untuk pulang dan istirahat.

"Apa lukanya masih begitu sakit?" Tanya Clarisa kemudian.

Danzel menggeleng. Lukanya sudah tidak sesakit kemarin. Kondisinya juga sudah membaik, terbukti sekarang ia sudah bisa memposisikan dirinya setengah duduk.

Tok...tok...tok...

Pintu kamar di ketuk dari luar. Dan dua sosok wajah familiar muncul dari balik pintu. Aidan dan mamanya.

Clarisa berdiri, tersenyum kearah Aidan dan mamanya yang melangkah mendekati Danzel. Clarisa melirik pacarnya, wajah Danzel berubah. Dia tampak terkejut mendapati kunjungan yang tak terduga dari sudara kembar dan mama kandungnya tersebut.

"Maaf, tante ganggu..." Mama Aidan menepuk pundak Clarisa.

Clarisa tersenyum, mengerti jika ada banyak hal yang akan mama dan anak itu perbincangkan dengan intens berdua. Cewek itu permisi, melangkahkan kakinya untuk pergi ke luar kamar, diikuti Aidan di belakangnya. Rupanya dia juga tidak ingin menganggu Danzel dan mamanya.

"Kamu sudah baikan?" Mama mengelus rambut Danzel dengan lembut kemudian duduk di samping Danzel. Wajahnya tampak sedih melihat anak yang jarang ditemuinya itu terkapar lesu dengan kondisi yang kurang baik. Sebenarnya Ibu Nana sudah mendengar kabar kondisi Danzel sejak seminggu yang lalu dari Aidan, namun karena ia memang benar-benar berada di luar kota dan tak bisa pulang, mau tidak mau ia baru bisa datang sekarang.

Danzel mengangguk pelan. Merasa canggung dengan sikap mamanya. Maklum selama ini ia tidak pernah mendapatkan perlakuan seperti itu dari wanita cantik yang duduk di sampingnya tersebut.

"Mama mau minta maaf sama kamu." Suara mama terdengar parau. Air mata mulai menggenang di pelupuk matanya. Kenangan akan dirinya dan Danzel sewaktu kecil membayangi benaknya. Seandainya waktu itu tidak ada perceraian, mungkin ia dan mantan suaminya tak akan menelantarkan anak-anak mereka seperti ini. ia harus rela melepaskan Danzel yang lucu, tanpa bisa menemuinya sedikitpun.

"Maaf buat apa ma?"

"Karena mama tidak memperhatikan kamu selama ini."

Danzel berdecak.

"Danzel sayang mama." Isaknya.

"Mama ingat, sebelum mama ninggalin aku, mama pernah bilang kalau Danzel sudah dewasa, Danzel sudah bisa menjaga diri Danzel sendiri. Jadi semenjak itu Danzel berusaha untuk mandiri dan menjaga diri Danzel sendiri ma." Lanjut Danzel. Kenangan menyakitkan itu kembali membayangi ingatannya.

Ibu Nana menghapus air mata di kedua pipi putranya tersebut. Sedih, menyesal, bahagia bercampur menjadi satu di dalam hatinya.

"Maafin mama nak. Semua ini salah mama. Bukan salah Aidan, bukan salah papamu dan juga bukan salah wanita yang sekarang dinikahi papamu!"

Danzel tak mengatakan apapun. Selama ini ia menyalahkan semua orang, bahkan dirinya sendiri.

"Mamalah yang menyebabkan perceraian itu. Saat itu mama adalah wanita yang gila kerja, mama nggak bisa ninggalin pekerjaan mama meskipun papa bersikeras agar mama merawat kalian di rumah. Sampai waktu itu tiba-tiba kondisi keuangan papa menurun, tapi mama tetap tidak peduli. Hingga akhirnya datang tante Ratih, sekretaris papa yang akhirnya menjadi seorang wanita yang paling peduli dan mengerti tentang papa."

My Badboy  (COMPLETE)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang