"Mey...!" Clarisa memanggil Mey yang sibuk memasukkan buku pelajarannya ke dalam tas. Bel istirahat baru saja berbunyi dan semua murid berhamburan keluar kelas. Menyerukan kemerdekaan mereka karena akhirnya penatnya pelajaran sudah usai.
"Gue mau ngomongin masalah ini." Clarisa mengambil sebatang coklat yang diambilnya tadi pagi dan menyerahkannya kepada Mey.
Mey tidak menjawab. Dan tidak biasanya juga, ia membiarkan sebatang coklat cadbury itu tergeletak begitu saja di atas meja. Ia hanya memandangnya sekilas, kemudian kembali sibuk dengan buku-bukunya.
"Jujur ya, sejak semalam gue terus kepikiran omongan loe dan apa yang gue lihat." Gumam Clarisa pelan.
"Loe bener-bener pengen tau siapa orang yang gue temui di toko coklat waktu itu?" Mey menatap Clarisa dengan serius.
Cewek itu menjatuhkan badannya di kursi. Hari ini ia sama sekali tak ingin menyentuh coklat yang dibawa Clarisa. Entahlah, nafsunya hilang.
Clarisa mengangguk mantap.
"Sepertinya, gue juga udah tahu siapa orang itu, karena kemarin waktu gue di Villa Danzel, gue melihat tulisan tangan yang sama pesis dengan tulisan tangan di kartu ucapan waktu itu."
Mey tidak menjawab. Dia menatap papan tulis kosong di depan kelas. Suasana kelas sudah sepi. Hanya ada mereka berdua di sana.
"Orang itu....." Clarisa menarik nafas. Berharap ia tidak salah menuduh orang.
"Dika bukan?"
Mey memandang Clarisa sekejap kemudian mengangguk pelan.
"Gue juga kaget setengah mati waktu lihat cowok itu beli coklat sebanyak itu. Dan tambah kaget waktu kasirnya bilang kalau Dika hampir setiap hari borong coklat di sana."
Clarisa berdecak.
"Loe udah bilang Danzel kalau loe curiga sama Dika?" Mey menepuk punggung tangan Clarisa.
Clarisa menggeleng.
"Gila aja, gue ngomong sama dia. Bisa-bisa si Dika di gantung di tiang bendera. Orang waktu gue cerita bahwa ada secret admirer yang tiap pagi kasih coklat aja dia udah kebakaran jenggot!" Jawabnya sarkastik.
"Lagian kita juga belum punya bukti yang cukup Mey. Belum tentu juga coklat-coklat yang dibeli Dika itu buat gue."
Mey mengangguk setuju. Saat ini diam adalah pilihan utama bagi mereka. Lagipula kenapa harus mengatakan pada Danzel, selain bisa membuat persahabatan kedua cowok itu memburuk juga selama ini Clarisa tidak mendapatkan reaksi negatif dari Dika. Bahkan cowok itu tetap biasa saja saat bertatap muka dengannya.
"Terus gimana dong?"
"Yaudah kita tunggu aja. Gue yakin kok, lama-lama dia juga bakalan nyerah. Kan dia juga udah tahu kalau gue pacarnya Danzel!"
Mey menggeleng.
"Kayaknya enggak deh Ris."
"Ha?"
"Coba loe pikir, sampe hari ini dia masih terus naruh coklat di sini meski dia tau loe pacaran sama sahabatnya." Mey berpendapat.
"Jadi?"
"Ya....loe harus hati-hati aja. Lebih baik loe pura-pura nggak tau dan nggak usah kasih tau Danzel lagi. Biar Dika nggak aneh-aneh sama loe."
Clarisa menggaruk kepalanya.
"Tapi semoga aja bukan Dika deh. Gue ngeri ngebayangin yang bakalan terjadi." Gumam Mey kemudian dengan wajah cemas.
***
"Weeeeh....ini nih yang habis liburan bareng. Berasa auranya bedaaaa gitu lho...." Marko meledek Danzel yang baru saja tiba di kantin.
"Ho'oh, wangi-wangi melati gitu ya Ko." Joy terkekah.
"Emang Suzana wangi melati?" Gumam Danzel mengkudeta seporsi es cendol dari hadapan Marko kemudian meminumnya dengan berisik.
"Loe nggak bisa ya pesen sendiri?" Marko tampak kesal. Baru saja ia meminum seteguk, namun Danzel sudah merampasnya gitu aja.
"Nggak keburu. Gue haus!" Jawabnya asal.
"Eh....eh...ceritain sama kita, kalian ngapain aja di sana kemaren?" Joy menggeser tubuhnya mendekati Danzel.
"Minggir deh." Danzel menoyor muka Joy.
"Siapa tau bisa buat referensi kita. Iya nggak Ko?"
"Yoi Jo, gue juga pengen tau tuh resep rahasianya biar bisa kayak dia."
"Minum pasak bumi sama gingseng." Danzel terkekah.
Marko dan Joy saling pandang.
"Serius loe?" Tanya mereka serentak.
Danzel bergantian memandangi kedua sahabatnya yang aneh itu.
"Loe pikir gue sama Clarisa ngapain sih???"
Marko dan Joy saling pandang, kemudian tertawa menggoda.
"Ya kayak yang loe lakuin waktu itu sama Irene." Jawab Joy pura-pura acuh.
"Yoi bro....main kuda lumping!"
"Makan beling dong!"
"Hahahahahaa...."
Danzel berdecak.
"Ya enggaklaaaaah!" Serunya kemudian.
"What????" Marko melongo.
"Jadi nginep semalaman kalian ngapain? Bikin puisi????"
Danzel belum menjawab. Ia menyruput habis es cendolnya.
"Dia belum siap dengan kayak begituan. Lagipula gue juga ngerasa nggak ingin buru-buru ngelakuin itu sama dia. Justru gue malah ngerasa pengen menjaga untuk tidak melakukan itu sampai kita benar-benar yakin nanti."
Joy melipat kedua tangannya di depan dada, kemudian menggelengkan kepalanya.
"Waaaah....kayaknya sahabat gue sekarang udah berubah deh. Sejak kapan bisa menahan hawa nafsu kayak begitu?" Decaknya.
"Nggalk normal deh. Gue yakin." Marko nimbrung.
Danzel berdecak kesal.
"Tau ah. Ada sahabat beneran mau insyaf malah diketawain. Ya nggak Dik?" Danzel melempar pandangn kearah Dika yang duduk di samping Marko. Sejak tadi cowok itu hanya diam memainkan sedotan es jeruknya.
"Ha?" Dika Mengangkat wajahnya.
"Loe kenapa sih Dik, dari tadi diem mulu?" Tanya Marko menatap Dika.
"Iya, loe ada masalah?" Tanya Joy.
"Cerita doooongz sama kiteee...."
Dika tersenyum hambar.
"Siapa juga yang punya masalah. Sotoyyyy...."
"Terus?" Danzel menaikkan alisnya.
"Gue ngantuk banget. Semalam nggak bisa tidur."
Marko terkekah. Ia menyampirkan tangannya di leher Dika.
"Makanya, kayak Danzel dong. Cari teman bobok. Meski Cuma jadi pajangan kan lumayan, buat anget-angetan."
Dika tersenyum. Ia memandang Danzel.
"Oke. Kayaknya perlu gue coba juga." Jawabnya.
****
KAMU SEDANG MEMBACA
My Badboy (COMPLETE)
Teen FictionClarisa dibuat pusing dengan kehadiran 3 makhluk di dalam hidupnya. 1. Danzel. Cowok ter-menyebalkan di sekolah yang membuat hidupnya tidak tentram karena setiap hari cowok itu terus mengerjainya. 2. Aidan. Cowok pendiam yang selalu ada dimanapun Cl...