32

261 11 0
                                    

Clarisa membuka matanya dengan berat. Kepalanya pusing, seperti habis kena pukul benda tumpul ratusan kilo. Cewek itu mengerjapkan matanya, ia berada di dalam sebuah kamar asing yang lebar. Nuansa putih terlihat dimana-mana, serta bau harum dari citrus menguar nyaman di hidungnya.

Hal pertama yang diingatnya adalah ia berada di depan rumah Aidan, memohon-mohon pada cowok itu untuk mau mendonorkan darahnya dan menyelamatkan pacarnya. Namun, setelah itu ia tak ingat apa-apa lagi.

"Wah, non sudah bangun?" Seorang wanita paruh baya tiba-tiba menyembul dari balik pintu.

Clarisa mengeryitkan kening. Dia juga tidak kenal dengan wanita tersebut.

Wanita itu tergopoh mendekati Clarisa.

"Saya.....dimana?" Clarisa berusaha untuk duduk, meskipun kepalanya masih terasa berat.

"Di kamar mas Aidan non." Jawab Wanita itu tersenyum.

"Hah?"

"Non lupa ya, tadi kan non pingsan di depan."

Clarisa berdecak kecil. Astaga! Ia tak ingat sedikitpun.

"Udah baikan non?" Tanya wanita itu kemudian, membantu Clarisa duduk.

Clarisa mengangguk.

"Jam berapa bi?" tanyanya kemudian. Ia benar-benar disorientasi waktu dan tempat saat ini.

"Setengah tujuh malem non."

"Hah?"

Wanita itu mengangguk.

"Aduh, saya harus pergi bik!" Clarisa bersiap hendak turun dari tempat tidur, namun tangannya sudah dicekal lebih dahulu oleh wanita paruh baya itu.

"Jangan non, Mas Aidan bilang kalau non bangun, nggak boleh langsung pergi. Disuruh istirahat dulu sampai sembuh."

"Tapi bi?"

"Nanti bibi yang dimarahi sama mas." Wanita itu memasang wajah cemasnya. Padahal selama ini Aidan tidak pernah sdikitpun memarahinya. Jangankan memarahinya, membentak pun tak pernah.

Clarisa menghela nafas kecewa.

"Emang Aidan-nya kemana sih bi?"

"Tadi sih bilangnya mau ke rumah sakit non. Mau donor darah katanya."

Clarisa melongo. Aidan ke rumah sakit? Donor darah? Jadi, dia mau membantu Danzel?

"Tuh, kayaknya mas Aidan sudah pulang." Kata wanita itu kemudian, setelah mendengar deru suara mobil masuk pekarangan.

"Saya bukain pintu dulu ya..." Bibi itu tersenyum kemudian berjalan cepat untuk membukakan pintu Aidan.

Tak berselang lama, cowok tinggi dengan kaus berwarna biru donker itu muncul dari balik pintu. Sebelum ia mengatakan apa-apa, Clarisa cepat-cepat membenarkan letak duduknya dan bertanya.

"Gimana keadaan Danzel?"

Aidan menghela nafas, ia menarik kursi yang ada di dekat Clarisa dan duduk. Cewek itu terlihat belum baik-baik saja, namun ia tak peduli dengan dirinya sendiri.

"Loe beneran donor darah buat dia?" Tanya Clarisa lagi.

Aidan mengangguk. Ia tak senang melihat Clarisa terlalu memikirkan orang lain dan tidak mau fokus pada dirinya sendiri. lihatlah, pada saat ini kondisinya lebih memprihatinkan dari Danzel. Tapi sepertinya dia tak peduli.

"Makasih...."

Aidan tersenyum kecil.

"Dia udah melewati masa kritis 'kan?"

My Badboy  (COMPLETE)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang