22. Tidak Sendiri

62.2K 3.1K 20
                                    

WARNING!

 

Cerita ini mengandung unsur semacam kekerasan, omongan kasar, dan beberapa hal buruk yang tidak pantas ditiru.

Semua tokoh, ras, agama, latar, hanya fiktif belakang.

Ambil sisi baiknya dan buang sisi buruknya.

Selamat membaca!!   

 

 



“Jalani hidupmu dengan jujur, menangis jika sedih, marah jika perlu, dan tersenyum serta tertawa jika bahagia. Enjoy whatever you are.”

-Trigonometri-

 


 







Alfan menatap Kansa yang sejak kembali dari toilet tampak murung dan diam padanya tanpa sebab, jika seperti ini, biasanya Kansa tengah datang bulan, pikir Alfan. Maklum, bersahabat sejak kecil dengan gadis itu, membuatnya tahu banyak hal. Layaknya saudara sendiri.

Rasanya ingin segera bertanya tapi takut Kansa malah ngamuk nantinya, jadi dia memilih untuk menahan pertanyaannya dan sesekali menatap Kansa disela-sela mengerjakan tugas dari guru mereka.

Menurut Alfan, Kansa itu cantik dan juga baik, dia satu-satu orang diluar lingkup keluarganya, yang mau menerima segala kekurangan yang dimiliki Alfan. Kansa itu seperti vitamin untuknya, bersama Kansa, Alfan jadi lebih bisa melihat banyak warna yang ada di dunia ini, meski dia tahu jika sebenarnya, ada sosok kembarannya yang berhasil merebut posisi di hati Kansa.

Alfan tahu sejak lama, sepolos-polosnya Alfan, dia tetap remaja normal yang bisa merasakan apa itu jatuh dan cinta, ribuan hari mengenal sosok Kansa, membuatnya merasakan sesuatu yang berbeda dalam hatinya. Alfan tahu jika itu adalah perasaan yang bahaya, maka dari itu. Dia rela menahan sambil belajar untuk mengubur dalam-dalam rasanya pada Kansa.

Kansa menoleh ke arah Alfan, sontak cowok itu tersenyum lembut, Kansa tampak menghela napas pelan sebelum akhirnya membalas senyuman dari Alfan, sedangkan itu Irina menatap keduanya dengan miris, sadar dan memang benar jika Alfan menganggapnya hanya sebatas teman, Irina paham benar tatapan yang Alfan berikan pada Kansa adalah tatapan penuh rasa dan harapan.

Irina menghela napas, dia mengambil ranselnya dan mencari sesuatu di sana. Irina menatap kotak makan berwarna pink, bekal yang dia buat untuk Alfan. Roti isi daging yang membuatnya bangun pagi-pagi dan membuat dapur Ibunya kotor, sekarang sia-sia. 









***

“Tes…tes… nyala gak nih?”

Terdengar suara seseorang yang menggema lewat speaker sekolah, para murid yang berada di lingkungan sekolah pun mulai mendengarkan secara saksama.

“Nyala bangsat!” balas Juno ngegas. Althaf mengangguk. Saat ini Althaf dan tiga sahabatnya tengah berada di mushala sekolah, bersiap untuk salat zuhur, niatnya Althaf akan mengumandangkan azan.

“Atas restu mamah papah, saya Althaf bin Atlas akan mengumandangkan azan, buruan pada ke mushala.”

Alam, Juno, Rafa, sama-sama tepuk jidat, gini amat punya sahabat yang udah tobat.

“Stop!” keempat cowok itu menoleh secara kompak ke sumber suara, ternyata Zaki—salah satu anggota rohis sekolah yang bertugas menjadi muadzin datang mencegah Althaf.

TRIGONOMETRI [Segera Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang