ONE

19.7K 551 36
                                    

Tepat dipintu masuk Gereja, Wanita itu berdiri tegak sembari tersenyum lebar, memperhatikan deretan giginya dengan penuh kebahagiaan di wajahnya yang hanya terpoles make up tipis. Perlahan kaki kanannya melangkah maju, gaun putih pengantin dengan potongan panjang menyapu lantai terseret- seret mengikuti di sepanjang langkahnya yang tertuju ke arah altar dimana lelaki yang berpakaian setelan tuxedo hitam dengan dasi kupu kupu yang menghiasi kerah kemeja putih itu sudah menunggunya seraya memberikan senyum lembut, teduh, penuh kepuasaan disetiap garis wajahnya yang tampan dan tegas.

Sebuket bunga mawar berwarna merah muda itu masih setia berada di gengaman si wanita bersama ayahnya yang mengandeng satu lengannya yang bebas. Para tamu undangan tersenyum bahagia, seolah menanti kedua mempelai saling berhadapan sembari mengucapkan janji suci.

Tak terasa langkah si wanita itu sudah di pertengahan altar tanpa sedikitpun mengalihkan tatapannya dari sang lelaki, pun dengan bibirnya yang tak henti mengembang senyum.

Dibarisan para tamu undangan yang menyaksikan Hana menggeleng, melangkah mudur sedikit hingga kakinya terbentur kaki kursi, air matanya tanpa sadar keluar, merembes deras. Dadanya perih, rasa kecewa merasuki pikirannya.

Meskipun Hana berada diantara para tamu undangan, tetapi dia yakin yang sedang berjalan menuju ke depan altar itu adalah dia dan lelaki yang menunggunya di atas altar juga adalah... suaminya, Xavier.

Hana tidak mengerti, namun entah mengapa melihat ini semua dia merasa begitu sedih, terguncang. Tanpa di kehendaki tiba tiba kakinya berlari menuju pintu utama Gereja tanpa berhenti menangis, tanpa berhenti merasakan sesak di dada sekaligus merasa heran mengapa dirinya bertindak seperti ini. Hingga setelah sampai diluar gereja tubuhnya terpental, tertabrak sesuatu dan....

Hana membuka mata kasar bersamaan tubuhnya beranjak dari tidur. Napasnya terengah- engah, peluhnya sudah membanjiri kening hingga mengalir ke pelipis.

Saat di lihat kesekeliling ruangan, Hana menghela napas panjang. Dia masih berada di Spanyol- Madrid- dikamar-dimansion suaminya bukan di Gereja yang berada di Manhattan dengan mimpi aneh itu. Aneh? tentu harus Hana artikan aneh. Bukan masalah mengenai 4 tahun ini Hana bermimpi seperti itu, tetapi keanehannya yang menjadi masalah. Bagaimana tidak? dalam mimpi itu Hana merasa menjadi dua peran. Mimpi itu memang sebuah kenyataan karena mengisahkan Hana yang menikah dengan Xavier, tetapi masalahnya dia merasa jiwanya yang berdiri di barisan para tamu dengan air matanya dan perasaan kecewa adalah yang sebenarnya padahal Hana yakin wanita dengan gaun pengantin dan lelaki itu adalah dia dan Xavier.

Hana mengusap wajahnya kasar lalu merasakan kedua matanya basah. Apa dia menangis?. Semuanya benar benar sangat tidak masuk di akal, namun saat matanya sedikit melirik jam weker diatas nakas membuatnya membelalak.

Pukul 8?! Ini jauh lebih tidak masuk akal!.

Buru buru Hana menoleh kesamping. Kedua putranya-- Alfino dan Gabriel yang setiap malam tidur dengannya sudah tidak ada. Hanya menyisakan sprai yang sudah kusut berantakan dan bantal serta guling berserakan dilantai.

Damn! ini salah mimpi kurang logika itu Hana jadi terlambat bangun.

Sambil tergesa turun dari ranjang, Hana menekuk wajah, kesal sendiri. Gaun tidur dan rambut kusutnya tidak dia pedulikan. Membuatkan kedua putra dan suaminya sarapan adalah yang utama.

"Prinze Gabriel! ayo makan makananmu! dasar bocah keras kepala!" Suara pekikan Olivia-- adik tiri Xavier yang baru 3 tahun ini pulang dari kuliahnya di Australia yang pertama masuk ke dalam telinga Hana begitu dia melewati tangga untuk pergi ke ruang makan.

"Bukankah dia sembilan puluh sembilan persen memiliki gen ibunya?" imbuh Xavier yang sedang duduk di kursi makan dengan Alfino disampingnya sambil sama sama terkekeh seraya mengunyah satu potong sandwich.

She is My WOMANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang