SEVENTEEN

4.5K 332 55
                                    

"Pangeran malaikat Mommy ayo pamit pada Grandma"

"Kalian akan kembali ke Madrid?, sekarang?" lemparan pertanyaan dari Laura membuat Hana mengangguk kaku, tapi saat ingin meraih Gabriel yang sedang bermain bersama Samuel-- di halaman belakang ini mendadak terhenti. Laura sudah berdiri dihadapannya, menghalangi.

"Kenapa terburu- buru, Hana? Kalian bisa tinggal lebih lama lagi. Aku yakin Gabriel juga pasti berpikiran yang sama denganku" saat mengucapkannya mata hijau Laura tidak bekedip, mengandung nada permohonan meski Hana hanya bisa melihat sekilas. Dari sanalah dia bisa menebak, begitu yakin Laura berharap Hana bisa mengumpulkan semua ingatannya jika terus berada di Manhattan. Kota yang membuatnya harus menelan ribuan rasa sakit.

Dalam diam Hana merasa miris. Laura kunci semuanya, semua kebenaran ada padanya, tapi kenapa dia masih tetap bungkam dan sampai detik ini malah lebih menunggu Hana mengigat sendiri tanpa bantuan siapapun? Meski Laura sebenarnya tidak bisa dipersalahkan untuk ini. Bukankah Hana sendiri yang sudah bodoh?: Jatuh cinta? patah hati? kesalahpahaman? lalu seorang lelaki-- ayah dari putranya yang masih diragukan memiliki perasaan yang sama?. Drama sekali hidupnya!

Hana menggeleng cepat lalu secepat itu wajah Laura berubah murung, "Tidak bisa, Xavier meminta kami cepat pulang lagipula Mr. Jerrald sudah merindukan cucu cucunya" sebenarnya Hana sudah memilih kembali melangkah melewati Laura, namun saat itu juga Laura dengan cekatan menarik kedua tangan Hana, meremasnya pelan.

"Aku berharap banyak padamu. Kau sudah berhasil membuat Kak Xander berubah. Dia sudah tidak terobresi padaku, lalu mau menerima Mommy lagi. Aku juga sangat menyesal membuatmu berada diposisi menyakitkan ini. Aku menyesal, Hana" suara Laura melirih, lalu kepalanya tertunduk kemudian ketika wanita itu mengangkat kepalanya air mata sudah menggenang di matanya.

"Tapi apa aku salah ingin menyatukan kalian kembali?" Hana memalingkan wajah. Rasa sakit itu lagi lagi melesak masuk tanpa permisi ke ulu hatinya.

Menyatukan kalian kembali? aku dan Xander?. Semua sudah terlambat, Laura. Tidak ada cinta Xander untukku, dan semuanya sudah berkahir.

Sebelah tangan Laura menangkup pipi Hana agar mata mereka bertemu, "Aku...." ucap Hana menggantung di lidah. Seluruh tubuhnya lemas. Rasanya semua darahnya terasa berhenti berjalan.

"Mungkin saat ini kau sulit menerima ucapanku. Aku tau kau tidak akan ingat apapun. Tapi sekarang aku tidak akan diam saja, sudah cukup Kak Xander menyuruhku diam. Dia bilang dia bisa mengatasinya sendiri, tapi yang selama ini aku liat! dia hanya bisa melihatmu dari kejauhan! tanpa berniat meraihmu lagi kesisinya!" Hana mengeryit bingung. Sempat berusaha mencari kesungguhan dari mata Laura yang terus menangis. Sayangnya dia gagal menemukan celah kebohongan.

"Dia memang menyayangiku, semua orang tau itu, tapi berbeda denganmu. Dia mencintaimu!. Percaya padaku!. Empat tahun tanpamu dia seperti tidak pernah hidup, meskipun dia tersenyum, tapi matanya tidak pernah menampilkan ekspresi apapun kecuali kehampaan. Tidak sebelum dia melihatmu lagi, aku melihat matanya penuh harap apalagi ketika dia bertemu Gabriel, aku tau dia sudah menyadari Gabriel putranya hanya saja dia tidak berani memeluknya atau memanggilnya. Semua itu karena dia masih amat menyesal telah meninggalkanmu!. Dia menghukum dirinya sendiri selama empat tahun ini!, karena... dia mencintaimu" Seketika itu Hana sudah tidak kuat lagi dan nyaris terjatuh, Laura memeluknya, kuat, penuh emosi, tubuh Laura pun bergetar saat dia menangis seolah akan terus menangis sampai besok.

Hana sudah tidak bisa lagi menangis, entah kenapa dia juga tidak tau padahal dia baru saja diterpa kenyataan baru. Tapi jantungnya berdenyut kencang, hatinya teriris, jiwanya seperti melayang. Xander Mathewson... Apa yang dia lakukan selama ini?.

"Dia bilang ini tidak sebanding dengan penderitaanmu. Dia memang diam, Hana, terlalu banyak diam tidak membiarkan semua tau perasaannya" ucapan Laura seketika melemparkan Hana agar kembali meningatkan ke masa itu, tentang beberapa tahun lalu bersama Xander. Sejak pertama kali mengenalnya Lelaki itu memang sulit ditebak, pintar menyembunyikan semua perasaannya, terlalu misterius karena itu Hana tidak pernah curiga niat Xander mendekatinya. Dia hanya percaya harus bertanggung jawab, hanya itu, tidak pernah mencari tau mengapa dengan mudah Xander mengucapkan cinta apalagi sampai harus melamar Hana dan mengadakan pertunangan secara frontal. 

Laura mengurai pelukan setelah menghapus kasar air mata di pipinya, kedua tangan Laura memegang bahu Hana, "Ka Xander sejak kecil sangat baik padaku dia selalu mementingkan diriku dari pada dirinya sendiri. Karena itu aku ingin melakukan sesuatu untuknya, untuk membuatnya bahagia"

"Kumohon Hana, tetaplah tinggal disini. Kau harus ingat semuanya dan menjalani kehidupanmu yang dulu dan...." setelah itu Hana-- dengan tubuh bergetarnya tidak tau lagi, telinganya tidak mendengar lagi apapun ucapan yang keluar dari bibir Laura.

Semua suara suara seperti hilang, pemandangan apapun didepan matanya mengabur, kecuali sosok tegap itu dan sepasang mata dingin: mengelamkan, menjebak. Milik Xander Mathewson.

Kenangan kenangan dahulu seolah terekam panjang di mata birunya, mengirim reka adegan yang hanya diketahui keduanya, begitu manis, meluluhkan, sekaligus jadi mimpi buruk ketika Hana secara spontan memutus padangan itu. Sungguh! Hana tidak tau perasaannya saat ini.

Secepat Laura menyadari keberadaan Xander, secepat itu pula Hana mendekati Gabriel dan meraihnya ke gendongan.

"Kami akan pulang. Terima kasih sudah menerima kami dengan baik disini"

"Hana!" Laura menjerit, matanya kembali berkaca kaca, tapi dengan gesit Xander sudah memghampirinya, mengelus lembut punggung Laura.

Hana mengigit bibir, berupaya untuk melangkah pergi, tapi tanah seolah memiliki lem untuk membuat kakinya tidak bisa bergerak.

"Kumohon jangan pergi"

"La, biarkan mereka pergi, Samuel tidak masalah tanpa Gabriel" Xander menenangkan dengan suara beratnya. Laura menggeleng gelengkan kepala. Tidak menyetujui.

"Bukan itu! Jangan pura pura bodoh, kak!" Laura menutup wajahnya, terisak lagi dan dengan sikap sigap Xander memeluknya, sejurus tanpa sengaja Hana melihat ditangan kiri Xander, tepat di jari manis dan jari kelingking nya tersemat cincin perak yang memukau, bersinar, dikulit tangannya yang kecoklatan.

Di detik itu rasanya Hana ingin pingsan ketika merasakan denyut jantungnya berkerja pelan atau kepalanya pusing dan pikirannya bercabang kemana mana. Kedua cincin itu, terutama cincin berbentuk mahkota yang tersemat di jari kelingking Xander sangat dia hapal betul. Cincin pertunangan mereka, cincin mahkota miliknya, yang pernah tersemat di jari manisnya.

"Biarkan mereka pergi, Laura. Ini bukan tempat mereka" suara serak Xander menyadarkan Hana.

Tanpa sadar mata Hana memerah, berusaha menelan ludah untuk membasahi kerongkongannya sebelum berkata, "Kami permisi" kemudian melangkah melewati mereka. Tanpa memperdulikan tangisan Laura yang bertambah menjadi semakin keras dan menyayat hati. Hana memang tidak peduli itu, tidak mau mempedulikan apapun lagi kecuali sesuatu dibalik dadanya yang terasa perih, sesak. Dia seperti kehilangan arah melihat kedua cincin pertunangan itu.

Selama ini mereka sering bertemu, tapi kenapa Hana baru melihatnya sekarang? Ketika Xander tidak berniat mencegahnya pergi, seperti saat itu? Padahal saat ini jujur, Hana berharap Xander melakukan itu, lebih bertanggung jawab, tapi apa?, sikap Xander mengecewakannya lagi dan apa Hana salah saat ini juga ingin melupakan dan menghapus apapun tetang Xander dan masalalu mereka?.

Karena pada dasarnya Hana hanya perlu sebuah pembuktian.

______________________

Haloooo kalian... semua pembaca setianya aku. Plis jangan marah sama aku:'. Aku memang selalu ngaret up. Maafin aku ya:(. Maaf banget. Semoga kalian semua ngerti:)).
Makasih buat voment dipart kemaren. Makasih banyak. Maaf juga kalau ceritanya makin membosankan atau partnya terlalu pendek:(.

Voment sebanyak banyaknya ya!^^

She is My WOMANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang