FOUR

7.6K 441 27
                                    

"Tes DNA antara anda dan anak lelaki berusia tiga tahun itu positif. Sudah pasti anak itu memang keturunan an...." penjelasan di ujung sambungan telepon itu terputus bersamaan dentingan suara lift berbunyi. Dengan berjalan tegap, penuh percaya diri-- keluar dari lift, Xander memasukan ponselnya kedalam kantung celana. Perlahan kedua sudut bibirnya tertarik, tersenyum tipis.

Kartu As nya ada padanya!.

Selama ini, selama 4 tahun, Xander kira Gabriel adalah putra Xavier. Kenapa dia baru menyadarinya sekarang? setelah Laura memberitahunya? Meski sebenarnya saat pertama kali bertemu dengan Gabriel Xander tidak menapik bahwa perasaannya menghangat. Kalau Xander tau semua ini dari awal dia tidak akan menyerah, dia tidak akan bersembunyi, dan dia tidak akan menanggung penyesalan sendiri.

Tetapi sayangnya sekarang dia terlambat, membiarkan wanita itu menderita, melupakan semuanya.

Bersamaan langkahnya berada di depan pintu, sejurus dengan tatapannya terfokus dengan Xavier, Xander mengepalkan tangan kanannya yang di sembunyikan di saku celana.

Dia memang sudah terlambat, tapi tidak ada salahnya berusaha lagi dan kata terlambat itu?... tidak ada dalam kamusnya.

"Hai Xavier...." suara serak, rendah Xander mengalun, menyentak Xavier yang sibuk berdiri sembari menatap kota Madrid dibalik kaca di belakang meja kerjanya.

Xavier membalikan badan, rahangnya mengeras. Lain lagi dengan Xander, secara tak acuh Lelaki itu tanpa permisi duduk tegak disofa sudut ruangan, menyilangkan kakinya.

"Ada apa denganmu, Xavi? apa tidak ada kerjaan lain selain menghancurkan kantormu?" Xander mengedar pandangan ke sekeliling ruangan, satu kata yang pasti. kacau. Laptop, berkas berkas, serpihan vas bunga sudah berceceran di lantai. Dan dinding berlumuran darah didekat almari dokumen menambah kadar kekacauannya.

"Apa itu juga masalah untukmu, Xand?" Xavier mengangkat sebelah alis sembari menekankan kata terakhir. Dia masih ingat sekali sejak kecil-- saat mereka masih bersama, sebelum Jerrald dan Sonya bercerai Xander selalu memanggilnya Xavi, nama panggilan khusus untuk dirinya sendiri, sedangkan Xavier balas memanggil Xander Xand.

"Kukira kau tidak akan memanggilku seperti itu. Ck. Ternyata kau masih ingat" Xander terkekeh, lalu melipat kedua tangan di dada. Menghiraukan sorot mata tak bersahabat milik Xavier, kedua tangan yang berlumuran darah akibat memukul dinding itu juga terkepal kuat. Masih jengkel mengapa Xander memilih tinggal bersamanya dan juga rasa takut yang kali ini mendominasi perasaannya.

Takut Hana mengigat semuanya, kembali terluka, apalagi masih mencintai Xander adalah alasan utama Xavier tidak mau Xander tinggal bersama mereka. Dia tidak mau kehilangan Hana.

"Aku juga masih ingat bagaimana kau menghianati Hana dan lebih memilih Laura" wajah Xander berubah dingin, mata birunya semakin menenggelamkan, Xavier menarik senyum miring.

"Kau tau, Xand? Sekarang dia memilihku, kita sudah menikah dan menganggap aku sebagai suaminya"

"Menikah?" Xander terkekeh remeh "Mimpi saja, Xavi. Pada kenyataannya dia hanya kehilangan ingatannya dan sepertinya kau sudah meracuni otaknya. Kau hebat sekali Xavier... sangat hebat" di tempatnya Xavier makin menggelap, menebarkan rasa tidak terimanya lewat gertakan gigi, mengeram rendah.

"Kalaupun harus meracuni otaknya tentu itu lebih baik dari pada PENGHIANATANMU, BRENGSEK!" Xavier meledak, napasnya terengah engah, semakin mengepalkan kedua tangan hingga lukanya mengangga lagi, darah segar mengucur, setidaknya ini yang bisa dia lakukan dari pada memukul habis wajah tampan kembarannya.

"Aku tidak menghianatinya!" alih alih bersikap tenang seperti biasanya sekarang Xander malah sudah menerjang Xavier, menghantam pukulan di pelipis, menyebabkan Xavier terpental menghantam kaca dengan sudut bibir merembes darah.

She is My WOMANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang