THIRTEEN

4.5K 298 33
                                    

"Kau Trauma, Hana"

Kalau dipikir pikir kalimat itu begitu jelas, tanpa kelecetan. Hana mengerang dalam tidur, beberapa waktu kemudian terjaga. Permandangan yang pertama kali mengisi matanya adalah wajah Xavier, begitu dekat, begitu polos, tampan, seperti pahatan wujud dewa, begitu sempurna, namun terasa aruranya.

Setelah memindai matanya ke nakas dan menemukan jam weker dengan jarum pendek menunjuk ke angka 5 segera Hana memijat pelipis. Tidak lupa tentang percakapan mereka sebelum tidur dengan dia yang menangis hingga mengakibatkan kepalanya pening dan tengorokannya kering.

Hana melepaskan pelukan Xavier, perlahan lahan kemudian mengecup singkat puncak kepala Gabriel. Setelah beranjak dari ranjang tanpa melepas tatapan dari mereka debaran jantung Hana melemah, tatapannya meredup. Bukankah kehidupannya sudah cukup sempurna?. Lalu apa yang dia cari sekarang?, sementara sesuatu yang dia cari tidak pasti. Mungkin ini saatnya Hana berhenti mencari, apapun itu tentang kehidupan terdahulunya, mimpinya, dan suara suara aneh ditelinganya lagipula itu hanya mimpi, meski kadang rasanya begitu nyata.

Dan... hal itu malah membuat kepalanya makin sakit. Menghela napas, kemudian Hana berbalik, meninggalkan ranjang lalu keluar kamar. Hanya butuh segelas air mineral setelah itu kembali kekamar.

Ketika melewati kusen pintu dapur, dilingkupan ketemaraman akibat lampu gantung yang tidak dinyalakan, Hana melihat seulet seseorang disana, dilemari rak dekat counter dapur. Sekilas dari belakang, rambut pirangnya itu tersorot lampu luar dari jendela tanpa tirai.

"Kenapa sulit sekali!" erang wanita itu terdengar teramat kesal. Kedua kakinya tidak berhenti berjinjit agar kedua tangannya mencapai pintu rak bagian tengah. Meskipun dalam posisi berjinjit semua orangpun dapat melihat dari caranya bergerak itu memang sedang menahan sakit, memaksakan diri. Karena itu walaupun rak yang dia ingin capai tidak terlalu tinggi, tapi dia sulit untuk meraihnya.

Dalam perhatianya itu, Hana mencoba maju, mendekat.
"Biar kubantu" ujar Hana menawarkan diri, dia memposisikan berdiri disamping Laura. Laura sempat terkejut, namun setelah itu reaksinya berubah biasa saja sampai kemudian lebih memilih berjalan tertatih ke kursi makan.

"Apa yang kau inginkan?" Tanya Hana. Setelah berhasil membuka rak yang ternyata didalamnya tak hanya susu kotak besar, tetapi juga terdapat wadah berisi lima batang coklat dengan besar sekepalan tangan orang dewasa.

"Ambil semua coklatnya"

Hana tersenyum, mengangguk lalu mengambilnya kemudian menaruhnya dimeja makan didepan Laura.

Laura tersenyum lebar, menampilkan senyum semanis madu, tanpa basa basi dia langsung memakan coklatnya, "Terimakasih"

Hana menggeleng kepala, kedua sudut bibirnya terangkat "Tidak masalah. Aku seharusnya yang berterimakasih. Kalian sudah mau menampungku disini, aku sangat berterimakasih sekali" Hana menundukan kepala bersikap sopan.

Laura menggeleng keras keras, berhenti mengunyah. Hana sedikit terheran heran wajah Laura begitu cepat berubah masam. Kemana senyum manisnya beberapa detik yang lalu itu?. Wanita itu sedikit... Aneh?.

"Jangan berbicara seperti itu. Itu mengucapkan seberapa tak berartinya dirimu dikeluarrga ini!. Jangan begitu kumohon!, kau begitu berarti, putramu juga! Kalian begitu berarti disini" Laura mengerjap. Dia salah!. Tidak seharusnya nadanya jadi meninggi begitu, tidak seharusnya Laura merasa tersinggung walau kenyataannya ini begitu mengganggu. Hana berfikir seolah olah dia memang hanya gangguan disini, terlebih Hana hanya dipaksa jadi korban. Laura hanya tidak suka, Laura begitu sensitiv menyoal ini. Ini semua juga berakhir karena dirinya. Iya, Xander mencampakan Hana dan jadi bodoh karena tidak mengetahui putranya karena kesalahan dirinya, begitu karena dirinya.

She is My WOMANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang