“Non, ada paket nih dari Surabaya buat non. Barusan aja dateng. Tamunya nggak dikasih minum daritadi ini non. Mau minum apa?” mbok Mar datang membawa kotak bersampul coklat.
“Taro di meja aja mbok” jawabku tanpa hasrat ingin menyentuhnya.
"Air putih dingin aja mbok. Makasih ya..." jawab Mia.
Sungguh, aku sedang malas berbuat apapun. Tak lagi bersemangat. Tak ada lagi perempuan. Tak ada lagi percintaan. Tak ada lagi Aqira.
Aku mengundang Nilam dan Mia untuk berkunjung kerumahku. Menemani, menghibur perempuan patah hati ini. Entahlah, aku mulai merasa bahwa aku butuh teman berkeluh kesah. Tak lagi memendam seperti biasanya. Lagipula, mereka sudah pernah bertemu kekasihku kan? Ehh, bukan. Maksudku kekasih orang yang pernah kuharapkan menjadi kekasihku. Sudah… Sudah… Jangan putar kisah itu lagi.
“Astaga lupa. Pantes kayaknya daritadi ada yang mau disampein tapi apa gitu. Ini kak, kita bawain rujak kesukaan kakak. Kan kakak pernah bilang, buat kakak, makan pedes itu bisa memperbaiki mood sehancur apapun. Coba di makan dulu deh biar agak enakan” Nilam mengeluarkan bungkusan dari dalam tasnya.
Nilam membuka kertas coklat itu lalu mengarahkan mangga dengan bumbu gula, cabai, dan kacang ke depan mulutku dengan tusuk gigi. Aku melahapnya senikmat mungkin. Berusaha menikmati lebih tepatnya.
Bagian bawah telingaku sakit. Ini pasti karena mangga asam ini. Hmm, lumayan.
“Jadi mau mulai di obrolin darimana kak?” tanya Mia. Duh! Apa aku harus mengulang semuanya? Bukannya aku sudah ceritakan panjang lebar semalam? Hingga mulutku berbusa, apa dia tak mengerti juga?
“Kan semalem udah di certain. Harus di certain ulang nih? Kurang sakit apa sih ngingetnya?”.
“Ohh iya iya deh sorry. Emm terus udah ada perkembangan kak? Sampe sekarang kakak belom hubungin dia juga? Dan dia nggak berusaha hubungin kakak gitu?”. Jawab Mia. Nilam asik mencicipi rujak yang katanya ia bawa untukku.
“Dia nggak berusaha hubungin aku sama sekali. SIbuk sama pacarnya pasti mah. Kan aku permen karet. Di buka hatinya, di makan, di kunyah karena manis dan nggak abis - abis, terus dilepeh karena udah nggak ada rasanya. Aku juga nggak berusaha mau tau soal dia. Bodo amat. Sakit hati banget, yakali aku hubungin pacar orang? Ganggu hubungan orang. Hubungin perempuan jahat yang udah ngasih harapan palsu kayak dia!”.
“Oke. Gini, ada dua kesimpulan menurut aku nih kak. Pertama, dia ngelakuin itu buat ngetest keseriusan kakak. Seserius apa kakak sama dia. Atau bahkan dia mau ngebandingin kakak sama pacarnya. Dia mau tau lebih baik mana antara kalian. Dia sayang sama kakak, tapi belum bisa lepas dari pacarnya yang udah bertahun – tahun itu. Bisa jadi kan?” jawab Mia sambil ikut mencicipi rujak dari tangan Nilam. Salah sekali mereka, pamer kemesraan depan orang yang patah hati. Minta dilempar rujak wajahnya?
“Kesimpulan kedua?” tanyaku kesal.
“Aqira PHP kak. Udah biasa PHP in orang. Dan kakak bukan korban pertamanya” jawabnya enteng. Tak berfikir perasaanku kah? Sebodoh itukah aku? Fakir kasih sayang. Haaahhh!!!
Aku pusing, aku tak kuat menahan semuanya. Haruskah aku melakukan apa yang kulakukan dulu seperti waktu kehilangan Sofia? Menjauh dari media social dan kehidupan nyataku. Pergi tengah malam menantang maut dijalanan. Berpuasa tanpa niat hingga masuk rumah sakit dan mengharapkan dia datang untuk merawatku? Haruskah? Aku tak ingin sebodoh itu lagi!
Aku berjalan mengambil paket yang dikirim untukku. Membawanya ketengah kami dan membukanya.
Sebuah kalung kupu – kupu ku jinjing kedepan wajahku. Kalung berwarna perak dengan bandul Kupu - Kupu. Memang tak sebagus kalung Pie di film Yes Or No 2, tetapi aku berusaha mewujudkan keinginan Aqira yang menginginkan kalung ini waktu itu. Aku mencarinya dan memesannya jauh – jauh. Semua demi Aqira. Kurang apa aku? Coba jawab! Semua yang ku lakukan, perjuanganku, perasaanku. Apa aku masih pantas disakiti seperti ini?
“Wah! Bagus banget kak. Kayak di YON aja deh. Mau dong. Buat aku ya. Pleaseeee” Nilam merajuk padaku. Ia berusaha meraih kalung itu.
“Lam, Ini buat Aqira tadinya. Sekarang… Buang ajalah. Udah nggak berguna. Ambil nih”.
“Heh! Kamu aku aja yang beliin nanti. Awas ya gatel – gatel sama Kak Bila” Mia panas. Ia mengembalikan kalungnya padaku.
Hah, aku tak suka merebut pacar orang. Secantik dan semenarik itukah aku hingga Mia takut Nilam jatuh cinta padaku? Mengapa tidak Aqira saja yang menginginkanku?
Aku memasukkannya kembali dalam kotaknya.
“Ehh by the way, kakak yakin mau ninggalin Aqira?” tanya Mia. Aku menaikkan bahu tanda tak tahu.
Aku masih belum menemukan jawabannya sejak Aqira pulang kemarin. Aku bingung. Isi kepalaku berkata untuk berkata untuk berhenti memikirkan orang yang sama sekali tidak memikirkan aku. Namun isi hatiku berkata untuk bertahan, selalu ada kesempatan untuk merubah jalan Tuhan selama aku berusaha dan tak putus asa.
“Kakak inget kan semua perjuangan kakak buat Aqira? Sejauh, sepanjang, sekeras selama ini. Masa mau begini aja hasilnya? Toh mereka kan baru pacaran, istri orang aja masih bisa direbut. Apalagi Aqira? Respon Aqira ke kakak juga bukan respon orang yang nggak tertarik sama sekali kok. Kalau dia nggak tertarik, dari dulu kan bisa jauhin kakak. Atau kalau dia takut? Kemana aja selama ini? Apalagi kalian udah… itulah. Masa segampang itu kakak ngeikhlasin dia?”. Mia membela Aqira? Dibayar berapa dia?
Nilam hampir melahap setengah porsi yang seharusnya menjadi milikku. Aku melihat mulutnya mulai membentuk mulut ikan. Rasakan! Dia pasti kepedesan. Makanya jangan coba – coba merebut apa yang harusnya menjadi milikku. Semacam Aqira yang seharusnya jadi milikku…
“Saran aku sih ya kak, mending sekarang kakak mikirin cara biar Aqira lebih nyaman sama kakak daripada sama pacarnya. Aku sih yakin, kalo Aqira cuma bingung milih kakak atau pacarnya” jawaban Mia, masuk akal. Mungkin ia benar. Inilah saatnya untuk aku menunjukkan bahwa aku lebih baik dari pacarnya, akulah yang terbaik.
“Nggak gampang loh kak nemuin orang yang bener – bener bisa bikin kita nyaman senyaman – nyamannya. Kayak si jelek ini nih. Udah jelek, oon, nyebelin, ngambekan. Tapi aku nyaman sama dia” jawab Mia menggoda Nilam. Nilam menyikut perut Mia. Ahh, itu yang sering Aqira lakukan padaku jika aku meledeknya!!!
Aku rindu Aqira, sepertinya...
Aku mengambil kembali kalung kupu-kupu yang akan bertengger di leher Aqira nanti. Kupu – kupu yang cantik, secantik pemiliknya kelak. Kupu – kupu yang bagian sayapnya dapat menyala ketika gelap. Adalah dia, cahayaku yang membawaku terbang keluar zona hampa saat ditinggalkan Sofia. Dia Aqiraku.
Permintaan selanjutnya dari Aqira yang belum ku penuhi adalah Boneka lumba – lumba merah jambu. Aku akan penuhi semua permintaannya. Seperti yang pernah ku katakan, akulah pengabul semua permintaanya.
Aqira, ia hanya pantas bersanding denganku.
“Hahaha! Makasih.. Makasih banyak banget buat sarannya. Kamu buka mata hati aku banget. Makasih udah nguatin aku. Pokoknya, mulai sekarang aku bakal nunjukin ke Aqira kalo aku yang lebih pantas ngejaga dia dan hatinya, bukan cowok sialan itu” ucapku penuh semangat.
Semua hal harus dimulai dengan pikiran positif dan niat yang kuat. Ya, aku harus memilikinya dan pasti memilikinya.
“Iyalah, kita berdua kan sayang banget sama kakak. Ngertiin kakak banget luar dalem atas bawah kiri kanan kan” jawab Nilam sambil melahap bengkuang segar itu. Beberapa butir air dari bengkuang melompat takut dari mulutnya. Mulut penuh.
“Eh iya, makasih banyak banget juga loh ya rujaknya. Sampe kenyang ngeliat kalian makan begini” sindirku lalu diselingi tawa. Nilam dan Mia tersenyum malu.
Aku berpaling melihat handphone, sepertinya aku harus menghubungi Aqira.
“Sayang, kangen…”. Bukan! Itu bukan isi pesanku untuk Aqira. Namun Aqira yang mengirimkannya terlebih dahulu padaku. Ia menghubungiku sebelum aku? Kupu – kupu ku bercahaya!
KAMU SEDANG MEMBACA
Perempuan - Perempuan Pelangi (GxG) (END)
RomanceIni adalah kisah seorang perempuan, Nabila Kusuma Wardani. Bagaimana Bila dan lingkungannya menjalankan kehidupan "pelangi"nya berkat website buatan dia sendiri, ParaPerempuanPelangi.com