Kalian percaya kebetulan?
Aku tidak mengerti. Apakah ini kebetuan, takdir, atau memang hanya sebuah ketidaksengajaan. Tapi...kok bisa aku bertemu cowok itu lagi?
Kalau dua kali itu masih bisa disebut kebetulan. Tapi ini udah tiga kali!
Dan ketemunya di Kedai Kopi langgananku lagi.
Pagi ini aku bangun dengan badan yang nggak fit. Semalaman aku berada di apartemen Lando untuk curhat perihal Randu dan Irene. Bahkan aku menangia di depannya meratapi nasibku sendiri. Aku memang cengeng banget. Di depan orang saja sok tegar.
Sejak Lando sudah melihat keadaanku yang paling memalukan. Aku nggak pernah lagi canggung di depan cowok itu, bahkan untuk nangis tersedu di depannya, aku sama sekali tidak malu.
Jadilah sepaginya, aku ngerasa capek banget dan mengeluarkan tenaga ekstra buat dandan. Menutupi mukaku yang bengkak serta lingkaran di bawah mataku.
Seperti biasa, sebelum ke kantor aku mampir dulu ke Pagi Senja—Kedai kopi bergaya American Classic yang sudah terkenal se-Jakarta raya. Saat aku membuka pintu kaca diikuti dengan lonceng berdering, aku langsung disambut sama Meta—pramusaji disana yang tengah membersihkan meja, menyapaku.
"Pagi, Mbak Dir,"
"Pagi, Met." Aku tersenyum pada Meta. Membalas sapaannya.
Lantas kembal melanjutkan langkah ke kasir yang sepi. Aku mengernyit, mengedarkan pandangan ke sekeliling. Nggak menemukan keberadaan barista di sana. Biasanya kalau hari Kamis, Gio yang jaga, mungkin hari ini cowok itu libur dan ti—
"Selamat pagi. Mau pesan apa, Mbak?"
Aku menoleh, hanya melihat bartender baru itu sekilas, langsung mendongakkan kepala untuk membaca papan yang berisi tulisan berbagai macam pilihan minuman sambil mengetuk-ngetuk dagu dengan telunjuk, memberikan gesture berpikir. Biasanya sih, aku pesan coffe mocha, tapi karena aku habis begadang dan lumayan ngantuk. Aku pun memutuskan untuk pesan espresso.
"Espresso ya, yang reguler aja." Pesanku sambil merogoh tas untuk mengambil dompet.
"Oke. Itu aja, Anindira?"
Kepalaku mengangguk, "Iya itu aja," jawabku siap memberikan credit card pada si barista. Hingga aku menyadari satu hal.
Eh tunggu, kok dia tahu namaku?
Aku mendongak, otomatis kedua mataku langsung membelalak ketika melihat siapa barista yang kini melayaniku.
Si outfit 1 M simpanan tante-tante!
"Nice to meet you, Anindira." Sapanya dengan senyuman tersungging di bibirnya. Membuatku tersadar kalau aku dari tadi cengok ngeliatin dia.
Malu-maluin banget sih, Dira!
"Eh, iya. Nice to meet you, Adrian." Balasku canggung yang membuatnya terkekeh sambil memencet mesin cas register di hadapannya.
Ini, wow banget loh!
Aku merasa udah kayak tokoh di dalam film dan novel romantis. Bayangin aja, kok bisa kebetulan tiga kali ketemu cowok yang sama? Dan cowoknya ganteng! Walaupun simpanan tante-tante. Minusnya itu doang. Coba kalau dia bukan simpanan tante-tante pasti aku udah naksir deh, beneran.
Kemarin aku nggak terlalu sadar kalau outfit 1 M ini ganteng banget. Apalagi ini kan masih pagi, dianya juga masih kelihatan fresh banget. Kaya ikan yang baru diambil dilautan terus dijual di pasar.
Mana pakek kemeja putih lagi ala-ala barista. Biasanya kalau Gio yang pakek kemeja itu aku ngeliatnya biasa aja. Tapi kenapa pas Adrian yang pakek, kok kayak 'wow' banget, ya?
KAMU SEDANG MEMBACA
I Think I'm Ugly
ChickLit[completed] Seumur hidupnya Anindira merasa selalu menjadi bayangan sahabatnya--Irene. Membuat kepercayaan dirinya berada di titik terendah dan mati-matian berusaha menjadi secantik Irene. Namun sekuat apapun dia mencoba, nyatanya Anindira tak bisa...