Aku hanya bisa terdiam di dalam kamar. Bahkan aku nggak masuk kantor karena kepalaku pusing di akibatkan menangis semalaman. Nggak memedulikan si perut buncit bakal mengomel atau paling parahnya aku mungkin saja di pecat. Yang terpenting sekarang buatku...aku butuh sendiri.
Bahkan kuhiraukan omelan Ibu yang menyuruhku untuk ke dokter. Saat Ibu datang, aku segera menutup seluruh badanku dengan selimut biar Ibu nggak melihat betapa kacau keadaan putri satu-satunya ini. Meski nggak akan sekacau perasaanku sekarang.
Iya, nggak apa-apa kalau kalian mau bilang aku bego, silakan. Pada kenyataanya aku memang bego seperti yang Tari bilang.
Bagaimana bisa aku nggak tahu kalau Irene masih sayang sama Lando? Dan bagaimana bisa aku nggak menyadari perasan Lando selama ini padaku? Paling begonya, bagaimana bisa aku begitu terlambat menyadari perasanku pada Lando?
Aku sayang Lando. More than just friend.
Dan pada akhirnya, aku harus kembali bersaing dengan Irene.
Huh? Bersaing? Aku bahkan nggak selevel buat bisa bersaing dengan Irene. Ibaratnya aku ini hanya enceng gondok sementara Irene adalah windflower. Mana bisa aku mengalahkan dia?
Aku nggak benci Irene. Dia sahabatku, semenyebalkan apapun takdir yang selalu membuatku berhadapan dengannya. Tetap nggak akan mengubah fakta kalau dia sahabatku. Hanya saja, kenapa harus Irene lagi?
Aku mendesah, mengutuk diriku sendiri. Setelah semua yang aku lewati hingga akhirnya aku menyadari perasanku pada Lando. Serta banyak pihak yang terlibat karena ini. Pihak yang terlibat? Oh, shit! Aku melupakan Adrian. Cowok baik yang aku gantungkan perasaannya.
Pasti Adrian sudah muak denganku. Aku sama sekali nggak mendengar kabar apapun darinya. Ditambah lagi, aku terlalu sibuk dengan perasaanku akhir-akhir ini. Membuatku jadi lupa mengabarinya kalau aku sudah pulang dari Bali.
"Anjing," aku menoleh saat pintu kamarku terbuka. Menampakkan wajah menyebalkan Kevin yang mengusap dadanya kaget. "Muka lo berantakan banget, nyet."
Kepalaku melongos. Sudah tidak ada tenaga untuk meladeni Kevin. Kembali termangu di pinggir jendela sambil menopang dagu dia atas lutut. Menatap sisa-sisa hujan yang menempel di kaca jendela kamarku dengan selimut yang membalut tubuhku hingga yang nampak hanyalah wajahku saja.
"Turun. Ada yang nyariin lo."
"Bilang aja gue lagi tidur." Sahutku lemah. Nggak bersemangat.
"Gue nggak bisa bohong."
Mataku terputar. Tai. Nggak bisa bohong apa? Justru kalau ada penghargaan cowok paling jago ngeles, kuberikan penghargaan itu padanya tanpa pikir panjang.
"Turun. Selesain masalah lo. Ngehindar nggak akan nyelesain apapun." Atensiku kembali berlabuh pada Kevin, sedikit kaget karena tumben banget ucapannya berbobot. "Kak Adrian nyariin lo."
Mataku kontan melotot. "Adrian?"
Kevin mendengus. "Emang lo ngarep siapa? Bang Lando?"
Aku cemberut.
"Buruan turun. Jangan bego lagi lo. Udah cukup lo nyakitin hati bang Lando." Sindirnya yang langsung menusuk hatiku yang sudah hancur.
"Apasi lo. Anak kecil nggak udah sok tahu." Kuturunkan kaki menyentuh lantai. Melepaskan selimut yang melingkupi tubuhku sambil misuh-misuh tanpa suara sampai suara Kevin kembali bicara bikin aku emosi jiwa.
"Bukan sok tahu tapi emang tahu. Gue kira lo itu manusia paling bego di dunia. Ternyata Bang Lando lebih bego lagi karena suka sama cewek bego kayak lo. Padahal banyak cewek yang suka sama Bang Lando. Tapi tetap aja dia pertahanin lo. Heran gue, lo itu nggak ada bagus-bagusnya. Punya apa sih lo sampai Bang Lando sebucin itu? Seha—AW, SAKIT, GILA!"
KAMU SEDANG MEMBACA
I Think I'm Ugly
Romanzi rosa / ChickLit[completed] Seumur hidupnya Anindira merasa selalu menjadi bayangan sahabatnya--Irene. Membuat kepercayaan dirinya berada di titik terendah dan mati-matian berusaha menjadi secantik Irene. Namun sekuat apapun dia mencoba, nyatanya Anindira tak bisa...