[completed] Seumur hidupnya Anindira merasa selalu menjadi bayangan sahabatnya--Irene. Membuat kepercayaan dirinya berada di titik terendah dan mati-matian berusaha menjadi secantik Irene. Namun sekuat apapun dia mencoba, nyatanya Anindira tak bisa...
Aku menghela napas panjang. Menatap layar laptop dengan tatapan sendu. Otakku serasa ingin pecah untuk merombak lagi desain yang sudah direvisi sebanyak tujuh kali oleh si Perut Buncit.
Sebenarnya nggak ada masalah sama permintaan klien. Dia lumayan nggak terlalu merepotkan dan banyak mau. Tapi bosku yang sadis ini nggak pernah puas sama hasil kerjaku. Ada saja salahnya, seakan-akan aku itu bego banget dan nggak becus.
Bahkan dia dengan teganya menyuruhku menyelesaikan desain itu malam ini juga!
Memangnya dia pikir aku ini robot yang nggak butuh istirahat?
Ingin rasanya aku mencoreng-coreng mukanya dengan pisau saking keselnya. Tapi aku terlalu takut jadi miskin dan nggak bisa beli skincare dan makeup terbaru kalau benar-benar mewujudkan keinginanku itu. Membayangkannya saja sudah membuat bulu kudukku merinding.
Jam digital di samping laptopku menunjukkan pukul sepuluh. Mataku pun sudah terasa berat. Tubuhkku pun sangat merindukkan kasur. Kalau anggota tubuhku bisa bicara mereka pasti sudah memaki-makiku untuk berhenti bekerja dan istirahat.
"Belum pulang, Dir?"
Matakku beralih dari layar laptop pada seorang cowok kurus tinggi berjalan menuju mejakku.
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Dia Johnny. 23 tahun. Divisi Marketing. Playboy. Mempunyai skill 'ngalus' berlisensi. Tak heran baru bekerja selama setahun. Namanya sudah disebut-sebut sebagai bibit pengganti Pak Adit selalu Manager Marketing yang beberapa bulan lagi akan resign karena ingin fokus pada usaha kulinernya.
Aku mengangguk singkat dengan muka datar. Terlalu lelah untuk beramah tamah. Lagian Johnny nggak akan tersinggung kalau aku nunjukkin muka jutek sama dia. Cowok itu pasti sudah ngerti dengan keadaanku sekarang.
Maklum, dia womanizer sejati.
"Kerjaan Pak Arya, ya?" dia bertanya lagi.
Aku mendongak. Kali ini dia bersandar pada kubikelku. Tersenyum kecil--yang menimbulkkan lesung pipit di sudut bibirnya; membuat Johnny nampak manis. Tapi aku tak akan termakan pesonannya. Playboy cap kaleng tak akan pernah masuk dalam list cowok yang ingin aku jadikan pacar.
"Siapa lagi yang punya dendam kusamat sama gue selain tuh Bapak-bapak!" balasku jutek.
Johnny tertawa. Bahunya naik turun akibat tawanya yang terlalu keras. Sementara aku hanya bisa mendelik melihat bagaimana bahagianya cowok itu karena penderitaanku.
"Just leave it. He just wants to play with you." Katanya dengan aksen Amerika yang kental karena pernah tinggal di New York selama 10 tahun. "Kliennya nggak minta cepet-cepet di kelarin kok, Dir. Dan...desain kedua lo sebenarnya udah di approve sama klien. Besok mungkin Pak Arya bakal nyuruh lo buat meeting sama kliennya." Beritahunya.
Tuh kan!
Emosiku langsung meradang mendengar penuturan Johnny. Aku emang dikerjain sama si Perut Buncit!