Aku nggak bisa berkutik.
Tanganku terkepal kuat menahan jantungku yang serasa ingin meledak. Ini terlalu mendebarkan. Padahal ini bukanlah ciuman pertamaku. Tapi tubuhku malah bereaksi seolah-olah ini pertama kalinya seorang cowok menjamah bibirku. Anehnya, aku merasa nggak asing dengan rasa ini. Bibir Lando terasa familiar.
Oke, otakku mulai konslet. Kucoba untuk mengangkat tanganku yang kaku. Menyentuh dadanya bermaksud untuk memberi jarak. Namun gerakkanku begitu lunglai. Dan yang ada kini ia makin mendesakku. Tangannya melingkar di pinggangku seiring dengan tangannya yang satu lagi merengkuh wajahku. Mencium lebih dalam.
Aku nggak pernah dicium seperti ini sebelumnya. Entahlah, cara Lando menciumku sarat akan banyak makna. Seakan-akan dia tengah meluapkan seluruh apa yang ia rasakan dalam ciumannya sekarang. Pikiranku berkecamuk lalu yang kulakukan hanya bisa memejamkan mata karena saraf motorikku seperti udah nggak berfungsi lagi. Pada saat aku akan membuka mulut, tiba-tiba...
"Bang, gue tadi ketemu—OH, WOW."
Mataku kembali terbuka lebar. Buru-buru mendorong Lando. Kulihat Kevin yang sudah berdiri di depan sofa dengan wajah terkejut tapi ada senyum tipis yang kini tersungging di bibirnya.
Pipiku terasa panas. Nggak bisa berkata-kata lagi. Segera bangkit dari sofa dengan jantung yang masih berdetak hebat. Tanpa mau melihat Lando, aku segera berlari dari kamar mereka, melewati Kevin dengan kepala menunduk. Saat sudah sampai di kamarku sendiri. Aku menghempaskan badan di atas kasur. Meraih selimut untuk menutupi seluruh tubuhku.
Perlahan-lahan tanganku merambat menyentuh bibirku, kembali terbayang saat Lando menciumku untuk pertama kalinya.
Dan jantungku kembali berdebar hebat.
***
"Gue selingkuh ya, Tar?"
Aku bertanya pada Tari yang kini tengah mencoba tas oleh-oleh dariku. Wajahnya nampak ceria berbanding terbalik denganku yang mendung berkepanjangan.
Sejak kejadian itu, aku dan Lando benar-benar berjarak. Bahkan saat kami pulang ke Jakarta. Kevin yang duduk disebelahku bukan Lando. Aku semakin frustasi dan kepengin nggak masuk kantor. Tapi apalah daya, kacung sepertiku hanya bisa menuruti perintah atasan tanpa ada bantahan.
"Tariiiii," decakku sebal.
Alih-alih memberiku saran atau masukkan. Cewek itu kini malah sibuk bergaya dengan tas barunya. Padahal dia yang memaksaku untuk bercerita karena begitu peka dengan kekusutan wajahku saat duduk di kubikel. Ditariknya tanganku menuju pantry buat ngeteh. Karena katanya secangkir teh bisa bikin obrolan jadi santai.
Tari melirikku lalu terkekeh pelan kembali duduk di sebelahku. "Sori, sori, lo ngomong apa tadi?"
Aku menghembuskan napas pendek. "Gue selingkuh ya, Tar?"
"Gue males jawab ah."
Aku mendelik. "Kok gitu sih, Tar?!"
"Lo bego soalnya."
Bibirku maju. "Karena gue bego makannya gue nanya sama lo."
Tari tertawa lalu menepuk-nepuk punggungku. "Cup, cup, galau banget ya lo." Ledekknya. "By the way, siapa yang lebih jago nyipok? Adrian apa Lando, nih?"
Wajahku kontan memerah. Menatap Tari nggak habis pikir. "Otak lo itu ya, Tar. Pasir semua emang."
"Pertanyaan penting tuh. Kalau gue jadi lo sih, gue prefer sama yang lebih jago nyipok. Lo tahu, hal-hal yang kata lo mesum itu malah bikin hubungan jadi makin harmonis."
KAMU SEDANG MEMBACA
I Think I'm Ugly
ChickLit[completed] Seumur hidupnya Anindira merasa selalu menjadi bayangan sahabatnya--Irene. Membuat kepercayaan dirinya berada di titik terendah dan mati-matian berusaha menjadi secantik Irene. Namun sekuat apapun dia mencoba, nyatanya Anindira tak bisa...