"Makasih, Mas."
"Astaga, Anin. Kamu beli makeup lagi?! Mbok yo, kalau punya uang ditabung toh, nduk. Kalau enggak, kamu sumbangin uang kamu ke orang yang membutuhkan. Jangan boros-boros, nduk. Boros itu saudaranya setan, Gusti Allah nggak suka sama orang-orang yang boros."
Ibu kembali ceramah saat melihatku yang baru saja mengambil paketan di depan pintu.
"Loh? Bukannya aku emang punya saudara yang nyebelinnya kayak setan?" balasku santai. Mengambil langkah penuh kegembiraan menuju tangga. Melirik Ibu sebentar yang kini tampak sedang berpikir. Sampai beberapa detik kemudian, raut bingungnya berganti dengan ekspresi syok luar biasa.
"Astagfirullah, Anin! Kamu ngatain adek kamu setan?!" serunya menyusulku.
Aku terkikik geli, membalikkan badan. Menghadap wanita yang sudah termakan usia namun tetap saja cantiknya melebihi aku.
"Kan Ibu sendiri yang bilang kalau boros itu saudaranya setan? Lah, kan aku punya saudara cuman satu."
Ibu mengusap dadanya, beristigfar pelan. "Maksud Ibu bukan kayak gitu, Anin. Setan yang Ibu maksud itu ... Iblis. Makhluk yang suka menghasut manusia untuk melanggar perintah Allah. Kayak kamu gini, tiap hari beli makeup. Kamu kan udah punya banyak toh, nduk. Buat apa beli sesuatu yang udah kamu punya? Mubazir, nggak baik, nduk." Nasihatnya dengan nada suara super lembut.
Lagi-lagi Ibu jadi Mamah Dedeh wanna be.
Asal tau saja, aku paling malas berdebat sama Ibu. Bukan karena kami akan perang hebat nantinya. Tapi beliau itu bukan tipe emak-emak kebanyakan. Dua puluh empat tahun aku dibesarkan olehnya, tidak pernah sekali pun Ibu membentakku. Nada suaranya selalu lembut dan halus.
Mana tega aku melawan Ibu? Walaupun aku bukan anak yang nurut-nurut banget. Setidaknya aku nggak mau jadi anak durhaka dengan meninggikan suaraku pada Ibu.
"Iya, Ibu. Ini yang terakhir, deh. Besok Anin nggak beli makeup lagi."
Besok sih, enggak. Nggak tahu kalau lusa.
"Kamu tiga hari yang lalu juga ngomong kayak gitu sama Ibu."
"Beneran, Bu." Aku meraih tangan Ibu mencoba merayunya. Sementara tangan yang satu lagi menggendong kotak paketku. "Besok dan seterusnya nggak akan ada lagi kurir yang nganterin paket buat Anin. Kalau ada, Ibu boleh gundulin rambut, Anin." Yakinku mantap sambil tersenyum.
Karena setelah ini aku akan mengirim paketanku ke apartemen Irene kalau tidak Orlando. Hihi.
Ibu menghela napas lelah. Sementara aku tersenyum. Tahu kalau Ibu kembali mengalah untukku.
"Yaudah, Anin ke atas ya, Bu. Nyobain makeup baru." Kataku. Mengedipkan mata pada Ibu. Melihatnya yang hanya bisa mengeleng-gelengkan kepalanya mempunyai anak sepertiku. Yang seharusnya bukan hal yang tabu lagi buat Ibu. Kebiasaanku suka belanja online sudah tumbuh sedari aku SMA. Sampai aku sekarang udah biasa ngehasilin duit sendiri, kegemaranku itu semakin membuat Ibu kalang-kabut. Karena nggak bisa melarang sebab itu duitku sendiri.
Aku meletakkan paketanku di atas meja. Lalu bergerak mengambil gunting di laci. Senyum tak lepas dari bibirku, saking senangnya.
Sebenarnya wajar sih, Ibu khawatir dengan hobiku yang satu ini. Di kamar saja, aku punya lemari berukuran sedang yang khusus buat menyimpan makeup. Hampir semua produk makeup aku koleksi. Kendati aku tahu, aku udah punya, tetap aja, setiap ada produk baru tanganku gatal kalau tidak memasukkan barang tersebut ke keranjang belanjaan lalu menekan tombol checkout.
KAMU SEDANG MEMBACA
I Think I'm Ugly
Chick-Lit[completed] Seumur hidupnya Anindira merasa selalu menjadi bayangan sahabatnya--Irene. Membuat kepercayaan dirinya berada di titik terendah dan mati-matian berusaha menjadi secantik Irene. Namun sekuat apapun dia mencoba, nyatanya Anindira tak bisa...