"Jiminie?"
"Ya?"
"Hyung sudah pulang belum?"
Jimin terdiam dan menengok ke arah jam dinding. Masih pukul tujuh malam, ia bahkan baru sampai di rumah sekitar setengah jam lalu. "Belum Tae, Hyung masih ada di kantor, kurasa sebentar lagi baru pulang," jawab Jimin. "Ada laporan yang harus diselesaikan tadi, tapi tidak akan lama. Ada apa?"
"Umー" Taehyung terdengar ragu untuk berkata, "malam ini aku menginap lagi di Seoul ya? Jangan tidur dulu sampai aku datang."
Dahi Jimin berkerut dalam, "Lagi? Bukankah baru minggu lalu kau main ke sini? Lalu bagaimana dengan skripsimu?"
Kekehan berat Taehyung mengisi gendang telinga Jimin. "Sebenarnya aku sudah ada di Seoul sejak tadi sore. Ketemuan sama teman, sekalian refreshing," aku Taehyung. "Skripsiku lancar kok. Aku bahkan bawa laptop dan buku untuk mengerjakan bab dua di sana. Jadi, jangan tidur dulu ya?"
"Tungguーteman?" Kepala Jimin meneleng bingung. Taehyung itu lama di Daegu, ikut orang tuanya, dan sekalinya main ke tempat Seokjin, tongkrongannya pasti tidak jauh-jauh dari apartemen, manga cafe, atau pun museum seni. Itu saja harus ada Seokjin atau dirinya yang menemani. Jadi setahu Jimin, Taehyung memang belum punya teman untuk diajak bermain di Seoul. "Siapa temanmu itu? Kenapa aku tidak tahu kau punya teman di sini?"
"Astaga Jimin, kau ini. Memang segitu anehnya kalau aku punya teman di Seoul? Kau sama saja dengan Seokjin-hyung."
"Bukan begitu Tae," Jimin mendesah, satu per satu kancing kemeja dibuka dan Jimin menaruh pakaian kotor itu di dalam keranjang. "Kau kan tahu Seokjin-hyung itu protektif sekali padamu, apalagi dia merasa bertanggung jawab atasmu sebagai anak pertama. Kalau kau berteman dengan orang asing dan dikerjai bagaimana?" Didengarnya Taehyung berdecak, Jimin buru-buru melanjutkan lagi, "kau mau cari teman di Seoul atau di mana pun, itu hakmu. Aku tidak melarang sama sekali. Tapi saranku, akan lebih baik kalau kau bilang dulu pada kami jika mau datang ke mari, dengan siapa akan bertemu. Jadi kami tidak akan khawatir. Paham?"
"Hm."
Jimin memutar bola matanya, kini ganti melepas celana kain dan menggantinya dengan celana rumah biasa. "Ya sudahlah, aku tunggu di rumah. Jangan malam-malam, ingat. Sudah makan belum?"
"Sudah," terdengar suara gemerisik plastik dari seberang telepon, "aku beli tteok-bokki untuk kalian. Umーada tiga porsi sih, mau?"
"Pakai ditanya. Mau lah." Jimin lega mendengar kekehan Taehyung kembali muncul. Ia berjalan ke arah cermin dan memperhatikan rambut yang acak-acakan, "Oh ya, Tae,"
"Ya?"
"Belum dijawab tadi, dengan siapa kau pergi?"
Keheningan melintas di antara mereka selama beberapa detik. Mungkin Jimin tidak bisa melihat, tapi entah kenapa dia seperti merasa Taehyung sedang tersenyum tipis di ujung sana.
"Jeongguk," jawab si bungsu Kim, "nama lengkapnya Jeon Jeongguk, Jim. Yang beberapa hari lalu pernah kenalan denganku di Big Hot waktu menemani Seokjin Hyung. Dia seumuran denganku, ternyata. Kau ingat tidak?"
Seketika Jimin terbatuk keras.
.
.
.Namjoon sedang menanyai seorang saksi, Chao Xing, pemilik sebuah convenience store di sudut jalan, yang mengaku bahwa dirinya ditodong oleh klien Seokjin. Selama jeda berlangsung Seokjin bahkan hanya bisa terdiam, karena ia tahu untuk kali ini, kliennya benar-benar melakukan sebuah kesalahan. Sekalipun klien Seokjin berkata bahwa semua adalah kesalahpahaman, namun pesan yang disampaikan oleh pria lima puluh delapan tahun itu sangatlah jelas,
KAMU SEDANG MEMBACA
LAWVE
FanfictionThe story between law and love. Between life and friendship. Because life is all about making choices. So...what would you choose? [Namjin Fanfiction] ーmain idea berasal dari sebuah novel berjudul The Law of Attraction © N.M Silber I do not own any...