Seokjin dan Jimin masuk ke apartemen ketika malam sudah lumayan larut dan Seokjin baru akan melemparkan surat-surat ke atas meja di dekat pintu, namun sesuatu menarik perhatiannya. Sebuah amplop mengintip di sela-sela tumpukan surat yang tadi diambilnya dari kotak surat, ditujukan atas namanya dengan tulisan tangan berantakan yang tidak dia kenal.
Tidak ada alamat pengirim? Apa-apaan ini?
Seokjin berdiri dan memandanginya. Entah kenapa dia mulai merasa sedikit gelisah.
"Chim?"
"Hm?"
"Coba deh ke sini sebentar,"
Jimin langsung menghampiri Seokjin usai melempar jas-nya ke atas sofa.
"Ada apa?"
"Coba kau lihat ini baik-baik," kata Seokjin sambil membolak-balikkan surat di tangan, "tidak ada nama pengirim, tulisan acak-acakanーaku bahkan tidak mengenal tulisan siapa ini."
Jimin mengambil surat dari tangan Seokjin. Tanpa ijin si empunya, dia menyobek amplop itu dengan hati-hati dan mengeluarkan sehelai kertas dari dalamnya. Seokjin mencondongkan tubuh untuk turut serta membaca isinya. Kertas itu hanya sehelai kertas putih polos, dan seseorang menulis pesan singkat dengan tulisan berantakan yang sama.
Tulisan itu berbunyi, "Kau tidak boleh bersama pria itu. Akhiri hubungan kalian sekarang juga sebelum kau terluka, Kim."
Seokjin langsung menutup mulut dengan kedua tangannya.
"Menurutmu siapa yang menulis ini, Hyung?" Jimin pun tidak kalah terkejut melihat isi surat tersebut. "Siapa pun dia, ini sudah keterlaluan namanya."
Mengambil kembali surat dari tangan Jimin, Seokjin membacanya ulang dengan ekspresi kebingungan yang amat jelas.
"Aku.... tidak punya gambaran sama sekali, Jim. Mungkinkah ini salah satu dari antara wanita yang pernah tidur dengan Namjoon?"
"Oke, itu kemungkinan yang sangat mungkin," Jimin mengiyakan tanpa pikir panjang. "Apa tidak sebaiknya kita tanyakan saja pada Namjoon-ssi?"
Seokjin menekuk bibir tidak setuju. "Tanya sama Namjoon malah bisa bikin dia curiga dan berpikir tidak-tidak. Mungkin sebaiknya aku harus selidiki ini sendiri untuk sementara, aku tidak mau membuat Namjoon kepikiran hanya karena ulah iseng manusia macam ini."
"Hyung," Jimin menggeleng lelah, "tapi ini ancaman namanya. Okelah kalau kau tidak mau memberitahukannya dulu pada Namjoon-ssi, tapi bisa kan kalau kau pancing dia tentang siapa saja yang pernah dekat dengannya? Dari situ mungkin kita bisa dapat suatu infoー"
"Jimin," Seokjin menyela, "terakhir kali aku menanyakan masa lalunya, dan dia membuat pikiranku semakin berantakan setelahnya. Sudah cukup, Jim. Aku tidak mau sakit kepala lagi karena masalah lain."
"Terus kalau sudah begini, apa yang mau kau lakukan?"
Menengadahkan kepala ke atas, Seokjin berpikir keras dalam kepala. "Entahlah. Tapi menurut firasatku, orang ini pasti mengenalku dan Namjoon dengan baik. Hubungan dekat kami tidak sepenuhnya diketahui publik, jadi kemungkinan besar aku pasti juga mengenalnya."
Sorot pandang Jimin mengikuti pergerakan Seokjin yang kini merebahkan tubuhnya di sofa. Wajahnya jelas sekali penasaran dengan sosok dibalik surat misterius itu.
"Tapi menurutku, Hyung, tidak ada salahnya kau lapor pada polisi. Bukan mau menyepelekan firasatmu, tapi setelah kupikir-pikir lagi, kita hidup di lingkungan yang bermasalah. Bermain dengan hukum dan penjahat, mencoba menegakkan keadilan di mana tidak semua orang sepandangan dengan kita. Bukan tidak menutup kemungkinan juga ada yang dendam padamu paska kasusnya kau tangani dan mereka mencoba mengancammu."
KAMU SEDANG MEMBACA
LAWVE
FanfictionThe story between law and love. Between life and friendship. Because life is all about making choices. So...what would you choose? [Namjin Fanfiction] ーmain idea berasal dari sebuah novel berjudul The Law of Attraction © N.M Silber I do not own any...