Keesokan harinya Seokjin berhasil meyakinkan kedua orangtuanya bahwa sudah aman bagi dirinya dan Namjoon untuk kembali ke Seoul.
Saat tengah hari, mereka berkemas dan bersiap untuk pulang. Seokjin mendapat pelukan kekhawatiran dari kedua orangtuanya dan Taehyung pun berjanji akan mengunjunginya di akhir pekan.
Pada pukul empat sore mereka sudah tiba di Seoul dan Namjoon, masih dengan emosinya yang terlihat tertahan, berkata bahwa malam ini dia akan datang bersama rekannya yang seorang polisi untuk mengadakan penyelidikan mengenai kasus terkait. Dirinya melarang Seokjin untuk pergi ke mana-mana dan lebih baik menghubunginya atau Jimin jika menginginkan sesuatu.
Seokjin hanya menurut pasrah. Dia tahu jika berargumen dengan Namjoon, kelak itu akan berbahaya bagi hubungan mereka karena Namjoon saat ini masih tampak seperti bom yang suatu saat bisa saja meledak.
Ketika masuk ke ruang tamu, dia mendapati Jimin di sana, sedang mengangkat barbel hanya dengan menggunakan celana training abu-abu.
"Minieyaaa, kau tidak akan mempercayai ini," barulah kepada Jimin lelaki itu mulai merajuk.
Jimin yang menemukan wajah kusut Seokjin, jauh lebih kusut daripada kemejanya yang diremas-remas oleh Yoonji semalam, hanya bisa menaikkan alis sembari menaruh kembali barbel di atas lantai kayu.
"Ada apa denganmu? Bukankah kalian habis bulan madu di sana?"
Seokjin menggeleng lemah. "Aku menerima surat lagi saat berada di rumah orangtuaku. Lagi-lagi surat ancaman dengan tulisan tangan yang sama."
"Hah? Di rumah orangtuamu? Seriusan?!" tanya Jimin dengan nada terkejut. "Bagaimana mungkin ada yang tahu kau sedang di sana?"
"Kemungkinan orang ini membuntuti kami atau mendengarnya di suatu tempat," Seokjin berspekulasi.
"Tapi, Hyung," alis Jimin menyatu saat pria itu turut berpikir, "ke rumah orangtuamu, lho. Dan ini gila kalau dia sampai tahu alamat rumah orangtuamu. Apa kali ini mereka dan Namjoon-ssi mengetahui soal surat itu?"
Kepala Seokjin menoleh dramatis. Sedetik kemudian Jimin bisa melihat lelaki itu kembali merengek.
"Iya Jimin, iyaaaa."
"Dan.... reaksi Namjoon-ssi?"
"Luar biasa marah," Seokjin menyembunyikan wajah di balik telapak tangannya. "Kupikir aku bisa menyembunyikannya dari Namjoon, setidaknya sampai dia selesai pelatihan, tapi ternyata si brengsek ini berhasil mengacaukan semua."
Ikut terduduk di samping Seokjin, Jimin, dengan wajahnya yang tampak begitu serius, berpikir bahwa si penulis surat kaleng itu memang tidak main-main dengan ancamannya.
"Kita harus lapor polisi kalau sudah begini, Hyung."
"Tanpa kau bilang pun, mereka sudah melakukannya untukku," decak Seokjin.
"Mereka?"
"Orangtuaku, Jim! Dan juga Namjoon! Siapa lagi memang yang seenaknya memutuskan tanpa meminta pendapatku sama sekali?" Ekspresi Seokjin terlihat gusar.
Tercengang, mata Jimin berkedip pelan untuk mencerna perkataan Seokjin.
"Persis sesuai dugaanku. Namjoon dan Appa langsung bersikap sangat protektif. Mereka bahkan meminta agar apartemen kita dipasang sistem keamanan yang lebih canggih. Memang mereka pikir itu semua barang murah?"
"Y-yah... tapi setidaknya sekarang kau tidak perlu lagi berbohong, Jin-hyung."
"Aaargh!" Seokjin menjambak rambutnya sendiri. "Ini betul-betul rumit. Si penguntit itu rupanya benar-benar menantangku untuk bermain. Oke. Akan segera kutemukan dia dan begitu dapat, aku akan mengajaknya berbicara empat mata agar tahu apa yang dia inginkan sebenarnya."
KAMU SEDANG MEMBACA
LAWVE
FanfictionThe story between law and love. Between life and friendship. Because life is all about making choices. So...what would you choose? [Namjin Fanfiction] ーmain idea berasal dari sebuah novel berjudul The Law of Attraction © N.M Silber I do not own any...