BULAN TULA

309 40 18
                                    

Juni, tahun 3845, Kota 65, Underworld.

ROTI
mendele memang keras. Tapi sepotong saja, hasil penemuan paling cemerlang foodist Kota 65 ini, bisa membuatmu kenyang seharian. Bulan Tula menghabiskan gigitan terakhir rotinya. Dia melihat sarapan pagi papanya masih utuh di atas meja tembaga ini. Perempuan delapan belas tahun itu suka menikmati roti mendele kering dan keras. Sementara Tuan Para, papanya suka merendam roti mendele dengan kuah kaldu jamur terlebih dahulu. Nanti, kalau sudah agak lembek, laki-laki empat puluh dua tahun itu akan menelan dengan cepat dan kembali ke ruang kerjanya di lantai atas.

 Nanti, kalau sudah agak lembek, laki-laki empat puluh dua tahun itu akan menelan dengan cepat dan kembali ke ruang kerjanya di lantai atas

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Bulan Tula menghela napas. Kalau saja izin sudah didapat dari Tuan Para, pagi ini dia pasti sedang bersiap-siap pergi. Kantor Pusat Litbang Kota 65 menjadi tujuannya. Tentu untuk mengikuti persiapan pendidikan menjadi arkeolog.

Tapi tak lama, remaja banyak akal itu tersenyum. Tangannya yang dibalut handsocks abu-abu menjulur dan mengangkat mangkuk rendaman roti. Dia beranjak dari meja makan. Sepatu boot bertapak baja ringan miliknya membuat tangga besi-besi terbaik dari temuan tahun 2000an ber-klentang-klenting nyaring, saat dia melangkah naik.

Sekarang, Tula sudah sampai di lantai atas. Di balik pintu ini, papanya sedang bekerja mengendalikan instalasi langit-langit seluruh Kota 65. Kota berpopulasi hanya sekitar 10.000 orang ini ada di underworld Nusantara Barat bagian utara. Jadi, mengharapkan sehari-hari memandang langit asli yang langsung dikendalikan Tuhan adalah perbuatan sia-sia. Jika kau ingin melihat yang seperti itu, pergi ke atas sana. Ke Tanah Bebas. Tanah yang diharapkan Bulan akan segera diinjaknya.

Hari ini pagi di bulan Juni. Mungkin papanya akan membuat kota agak gerimis dan menjadikannya terik di siang hari nanti. Atau bisa jadi kalau Tuan Para sedang senang, dia akan membuat kota cukup terang sampai sore. Jangan bayangkan terang di kota ini seperti halnya cahaya siang di Tanah Bebas. Tetap saja temaram, karena tidak bisa seenaknya menghabiskan energi listrik yang susah payah dikumpulkan dari bioelectric. Tapi mungkin tidak, Tuan Para tidak bekerja atas dasar 'kesenangan' pribadi atau keperluan artistik kota semata. Namun, semua tindakan dilakukan atas dasar keseimbangan ekosistem kota bawah tanah ini.

Remaja dengan perangai sedikit keras kepala itu menghela napas. Semoga tidak ada perdebatan dengan papanya di pagi yang—, sepertinya mulai dibuat gerimis. Tula melirik ke jendela kaca di sebelahnya. Sinar lampu-lampu di langit-langit kota yang temaram kekuningan baik pagi, siang, dan sore menyebabkan suasana di sini selalu seperti senja. Di malam hari, baru cahaya akan berubah menjadi warna biru tua.

Dia mendekatkan bola matanya ke sebuah pemindai di samping pintu. Setelah bunyi bip lembut, pintu besi tebal itu menggeser dengan sendirinya. Pemandangan seluruh Kota 65 dari balik dinding kaca langsung menyambut Tula.

Rumah Tuan Para—dan seluruh penduduk kota 65 lainnya—memang terletak di sisian tepi kota yang menjulang vertikal hingga ke atas. Tula pernah melihat gambar temuan di ruang kerja mamanya. Susunan seperti ini dilakukan oleh orang-orang kuno pada semacam tanaman hijau. Kalau dia tak salah ingat namanya terasering.

Setingkat di atas mereka, ada hunian pejabat Kota 65. Masih banyak lagi rumah-rumah yang melandai di bawah mereka hingga berakhir di River Street. Sementara tanah datar di hadapan River Street di bawah sana hanya untuk lahan pertanian, ada hutan kecil, balai kota, dan pasar. Ada juga sungai buatan yang mengelilingi tanah datar. Tuan Molly adalah riverer senior kota ini. Orangnya tak seindah sungai yang ada di bawah pengawasannya itu.

Tuan Para, seperti biasa duduk di balik panel-panel pengendali menghadap kota. Dari sini semua sudut kota terlihat jelas. Dia memutar kepalanya ke belakang. Punggung lebarnya dibalut sweater biru muda rajutan almarhum Nenek Olaf, ibunya. Tula balas memandang tatapan bertanya papanya dengan kikuk. Dia agak berjinjit sedikit dan menurunkan tumitnya, berjinjit lagi sebentar, dan melangkah mendekat. Tuan Para tidak tersenyum. Bulan Tula tahu itu meskipun mulut dan hampir seluruh wajah Tuan Para ditutupi kumis, janggut, dan cambang yang lebat. Tidak ada rambut-rambut wajah itu yang bergerak naik. Itu artinya, bibirnya tetap diam di tempat.

"Awak... awak takut Papa lupa makan ini," katanya dan menyerahkan mangkuk rendaman roti itu pada Tuan Para.

Semak di wajah Tuan Para bergerak naik. Dia tersenyum. Tula perhatikan uban di rambut-rambut wajah itu bertambah beberapa.

"Tidak mungkin lupa, Tulaaa. Pusat Kesehatan Kota akan langsung mengirimi kita peringatan kalau alarm eat detector itu berbunyi."

Pria tinggi besar itu menunjuk sebuah alat yang menempel di langit-langit rumah. Benda seperti itu ada juga di ruang bawah dan di setiap rumah penduduk kota. Tidak sampai satu detik kemudian, ekspresinya berubah. Sekarang, Tuan Para memutar kursinya penuh menghadap putri semata wayangnya itu. Dia melipat tangannya dan meneliti wajah Tula. Kepalanya miring. Dia baru menyadari, tak mungkin Tula tak tahu mengenai eat detector.

"Ada apa, Bulan Tula?" Akhirnya pertanyaan itu keluar sebagai pertanda kalau Tuan Para telah mengerti maksud kedatangan anaknya ini.

BULAN TULATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang