FREDEREK MARIGAS

52 16 29
                                    

"KALIAN sedang diskusi apa?"

Habo dengan kepercayaan diri tinggi sudah berdiri di dekat Mambang. Dia mengambil posisi sehingga kini keempat orang itu tengah membentuk lingkaran.

"Bukan urusanmu!" sambar Sinabung ketus.

Laki-laki putih dan berbadan kecil itu hanya menjengit. Dia sudah biasa menerima lontaran kata pedas dari Sinabung. Jadi dia tidak bereaksi terlalu berlebihan. Dia menyibak rambut tebalnya—tidak dengan keren. Namun dengan cara seperti orang yang sedang ruwet pikiran. Memang, segala gerak-gerik Habo tergesa sehingga terkesan seperti gelisah terus.

"Robot yang keren." Mambang dengan segala keramahan dan ketenangannya memuji.

"Terima kasih, Abangnda Mambang Kejora. Kau ini memang selalu tahu caranya membuat hatiku senang." Dia melirik Sinabung sebentar.

Sinabung mencebik. Sepertinya dia ingin memuntahkan sarapannya. Ketika itu, Habo dengan gerakan tergesa (lagi-lagi) memutar separuh badannya ke belakang—mengecek robotnya. Mungkin dia takut ada yang menggondol robotnya itu.

"Tapi, aku rasa kau nggak harus menggelindingkannya ke sini juga, kan?" lanjut Mambang yang  Tula tangkap sedang berusaha menyindir anak itu.

Namun sepertinya Habo tak paham disindir.

"Hehehe, nggak apa-apa, Abangndaaa. Aku sangat bangga padanya." Habo berpaling lagi, memandang robotnya sebentar. "Jadi, tak apalah aku sedikit mengumbarnya. Sekalian memberikan semangat bahwa kota kita sudah tidak perlu lagi mengirim orang untuk tugas berat ke Tanah Bebas."

"Jadi..., memang benar, ya, kalau Pendidikan Arkeolog akan ditutup?" Tula benar-benar sudah kehilangan gairah.

"Iya, Kak Tulaaa," jawab Habo.

Tula menarik napas dan mengembuskannya kasar. Dia menunduk dan menggoyang-goyangkan kakinya. Sekarang, dia benar-benar pasrah harus menjadi skier, penerus Tuan Para. Sangat tak seru, batinnya.

"Kakak cantikku jangan sedih. Lupakanlah cita-cita jadi arkeolog itu. Sangat sayang jika Kota 65 ini nanti kehilangan orang cantik dan baik seperti Kakak. Biarlah robot-robot canggih ciptaanku itu melakukan pekerjaan menggali-gali Tanah Bebas."

Meski tersenyum, itu sama sekali tidak menghibur hati Tula.

"Bisa kau hentikan omonganmu itu, Habo?" Sinabung menyalak. "Kok, lama-lama muak pula aku mendengarnya!"

"Ya, ampun. Abang ini. Kau terlalu banyak menelan asap otoped itu rupanya. Makanya jadi emosian," timpal Habo santai.

Sinabung berdiri dan mengepalkan tangan ke arah Habo.

"Eiiittt!!!" Tula segera bergerak menahannya. "Hanya bercanda si Habo, Bung. Udahlah."

"Iya, Bang. Bercanda."

Tula kemudian menyadari Habo sudah agak jauh dari lingkaran mereka. Pasti tadi anak itu refleks mundur ketika Sinabung berdiri. Omongannya memang besar. Tapi sebenarnya dia penakut.

Mambang Kejora mengabaikan kejadian itu. Dia melihat ke kejauhan.

"Yok," ajaknya. "Sebentar lagi doa bersama akan dimulai."

Mambang melangkah. Semua ikut bergerak. Sinabung yang paling bersemangat menerima ajakan Mambang. Dia segera mensejajari langkah Mambang. Dia lega bisa terbebas dari si narsis itu. Tula mengikut lunglai satu langkah di belakang Sinabung. Dia seperti tak bersemangat hidup lagi. Sementara, Habo berbalik karena harus mengurus robotnya dulu.

Dari turunan menuju sungai di samping mereka, muncul seseorang. Dia diam saja, menunduk, dan berjalan melewati punggung-punggung ketiga remaja itu. Badan raksasanya membuat jalan yang dia lewati seolah bergetar. Kaki besar kokohnya dilangkahkan lebar-lebar. Dia ke Toko Keluarga Embara. Di sana masih ada Nyonya Gefria, Tuan Embara, Habo, dan beberapa keluarga dekat yang masih bersiap-siap menuju alun-alun.

Ketiga remaja itu spontan menghentikan langkah dan mengamati pria berbadan menjulang, berotot menonjol di mana-mana, dan berkepala besar itu. Bukan mereka mencurigai karena dia orang jahat atau apa. Manusia ini jarang bahkan tak pernah lagi terlihat di mana-mana. Sekali kemunculannya begini, tentu menimbulkan rasa heran, kaget, dan juga penasaran.

Dia penjaga hutan Kota 65, mantan anggota militer Kota 65. Dua tahun lalu, yang diumumkan meninggal di Tanah Bebas adalah Ricordo, adik kandungnya. Sejak saat itu dia memutuskan mundur dari militer dan menawarkan diri sebagai penjaga ekosistem hutan kota saja. Selama dua tahun itu, dia tidak pernah terlihat lagi. Dia bersembunyi di dalam hutan.

"Frederek Marigas," gumam Sinabung.

Persis sedetik setelah Sinabung menggumamkan namanya, dia menoleh. Dia memberi tatapan sekilas yang mengerikan. Sontak ketiga remaja itu berbalik dan meneruskan langkah ke alun-alun. Ada rasa gentar muncul di benak Tula saat melihat tatapan itu. Seram.

Tula memberanikan diri memeriksa ke belakang sekali lagi. Saat itu Frederek sedang memeluk Tuan Embara. Laki-laki berbadan tinggi itu masih bisa tenggelam dalam tubuh Frederek. Orang yang datang dengan sikap seperti hendak mengacak-acak kota itu ternyata hanya ingin menguatkan keluarga duka.

Memang, manusia itu tidak pernah tobat untuk menilai manusia lain dari luarnya saja. Padahal hal ini sudah berkali-kali menghancurkan manusia, di bumi yang memang sudah hancur ini. 


BULAN TULATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang