GEMPAR

51 15 23
                                    


SINABUNG tidak bercanda. Ramai sekali orang di Pusat Kesehatan Kota 65. Kata mereka Bang Roga ada di salah satu ruang rawat di dalam. Tula turun dari otoped dan tanpa menunggu Sinabung, berjalan masuk. Dia membuka tudung jas hujannya.

"Masih hidup?" tanya seseorang di dekat Tula.

"Katanya masih, hanya pingsan!" ujar yang lain.

"Ditemukannya di mana?" Sayup Tula mendengar pertanyaan itu dari salah satu orang yang lain lagi.

"Katanya di dekat sungai!"

"Apa, pulak! Di gerbang kota!!!" sambar seseorang tak terima.

"Sok tahu, kau!"

"Kau yang sok tahu!"

Semua orang berkasak-kusuk membicarakan informasi yang masih didapat setengah-setengah. Akhirnya, ya, begitu. Mereka mendebatkan hal-hal yang masih belum jelas. Tula menggeleng.

Padatnya orang yang ingin melihat, membuat para petugas kewalahan.

"Tolong, Tuan Nyonya, Abang Kakak, mundur sedikit. Dan jangan ribut. Pasien-pasien lain bisa terganggu."

Itu Kak Meyren. Dia kepala perawat. Tula sangat kenal padanya. Soalnya dulu, ketika Kak Meyren masih jadi murid Dokter Durco, dialah yang mengunjungi Tula. Eat detector rumah Tuan Para selalu berbunyi karena Tula malas minum vitamin.

"Tolonglah, Tuan Nyonyaaa...," pekiknya lagi memelas.

Tula menoleh karena mendengar derap langkah-langkah. Persis di belakang Sinabung yang sedang berjalan menyusulnya, ada sekelompok orang berseragam militer. Sinabung refleks minggir memberikan jalan. Mereka cepat menyebar dan bertindak, membuat suasana di Pusat Kesehatan lebih kondusif.

Orang-orang mundur teratur dan mencari tempat lebih aman untuk menantikan info selanjutnya. Tula melihat kelegaan di wajah Kak Meyren. Dia duduk di salah satu kursi dan menyeka dahinya.

"Tula!" panggil Sinabung.

Sejak kapan dia sudah ada di sana? Sinabung sedang berdiri di salah satu sisi gedung dan melambai padanya. Tula segera menghampiri.

"Nyonya Gefria udah tau, Bung?" tanya Tula setelah ada di dekat Sinabung.

"Udah, dia dan Tuan Embara ada di dalam. Bang Roga kembali..., mencengangkan 'kali, ya, kan?"

"Bukan hanya mencengangkan, Bung. Di mataku ini harapan."

"Harapan apa?"

Tula tidak menjawab karena dirinya teralihkan kepada satu lagi rombongan datang. Pak Licus dan orang-orang dari Balai Kota. Mambang Kejora tampak mengikuti rombongan orang penting Kota 65 itu. Sigap, anggota militer membelah warga-warga yang penasaran agar memberi jalan. Dengan langkah sangat lebar, rombongan itu lewat di antara barisan padat warga. Beberapa detik kemudian, mereka hilang ditelan sebuah lorong.

"Sejarah terukir," kata Sinabung pelan sekali, seperti berkata untuk dirinya sendiri.

Tula mengangguk. "Bang Roga adalah manusia pertama yang kembali setelah dinyatakan hilang di Tanah Bebas. Namanya akan dicatat selamanya di buku sejarah Kota 65."

"Bahkan, temannya aja nggak bisa ikut kembali," imbuh Sinabung.

"He'em," respons Tula dengan hati yang bersedih.

Tentu kasihan sekali keluarga Bang Haykal. Berita baik hanya sampai ke keluarga Embara, tidak dengan mereka.

Hujan telah berubah menjadi gerimis. Tula memandang ke atas, ke arah rumahnya. Bang Mal masih di sana, mengendalikan langit malam. Ah, dia tak akan jadi mencintai pekerjaan itu. Lagian hujan itu tidak terlalu indah, seperti menurut Bang Mal. Hujan hanya membuat orang jadi basah dan repot. Petualangan di Tanah Bebas, itu lebih menantang.

Kepulangan Bang Roga menimbulkan celah argumen baru untuk mempertahankan profesi arkeolog. Kepulangan Bang Roga diharapkan Tula, akan membuka dialektika baru di kalangan pembuat keputusan. Bang Roga saja bisa pulang, kenapa tidak dengan yang lain? Lagian Tula tahu, Kota 65 sebenarnya belum siap materi dan teknologi untuk serius memproduksi Roboarkeolog yang sempurna.

"Kenapa kau, Tula? Kok, senyum-senyum sendiri?" tegur Sinabung.

"Enggak...," katanya dan duduk di selasar. "Kita tunggu sampai Mambang keluar, ya. Aku ingin tahu sekarang juga, apa yang terjadi di dalam sana."

Sinabung mengangguk dan ikut bersila di samping Tula.


***

Pukul sepuluh malam. Meskipun tak melihat jam, Tula bisa perkirakan itu. Bang Mal menghentikan hujan di jam sepuluh. Baru saja Pak Licus beserta rombongan Balai Kota memberikan pengumuman resmi.

"Roga Embara dinyatakan kembali dengan selamat. Beliau masih perlu perawatan medis intens. Kepada Warga Kota 65 mohon doanya untuk kesembuhan anak kita Roga. Ini kabar gembira untuk kota ini. Jangan lupa juga selipkan doa untuk rekan Roga, Haykal Laksmana agar bisa menyusul temannya kembali ke pelukan keluarga tercinta."

Pak Licus dan rombongan bergegas meninggalkan Pusat Kesehatan Kota. Tula dan Sinabung berlari mengejar rombongan itu. Sinabung masih dalam posisi ancang-ancang memangil ketika Mambang ternyata sudah menoleh duluan. Dia keluar dari rombongan.

Ketiganya duduk di pingiran jalan di depan Pusat Kesehatan. Beberapa warga juga masih di sana walau tidak seramai tadi.

"Kekmana kondisi, Bang Roga?" tanya Sinabung tak sabar.

"Dia belum sadarkan diri. Aku dengar tadi dia mengalami dehidrasi akut."

"Semoga hanya itu," sela Tula. "Jangan sampai dia terjangkit virus-virus aneh dari tanah bebas. Itu bisa membuatnya... ahhh." Tula tak sanggup meneruskan saat membayangkan apa yang dilakukan pada manusia yang bervirus berbahaya di kota ini: suntik mati.

"Tidak. Sudah dipastikan tim dokter dia bebas. Kata penjaga gerbang kota yang pertama kali menemukannya terkapar, dia masih mengenakan pakaian dan masker lengkap. Dia aman," jelas Mambang melegakan.

"Jadi Bang Roga ditemukan di gerbang kota?" Sinabung yang bertanya.

"Yup!"

"Bang Roga harus cepat pulih, supaya dia bisa menceritakan apa yang terjadi padanya," doa Tula sambil tangannya sibuk memainkan daun-daun kering.

"Iya, itu harapan kita semua. Semoga dia bisa menjawab rasa penasaran terhadap hilangnya warga kita di Tanah Bebas selama ini," imbuh Mambang, membuat Sinabung dan Tula mengangguk serempak.

BULAN TULATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang