BEBERAPA manusia pintar punya label buruk yang menyertainya. Angkuh. Habo ini salah satu dari yang beberapa itu. Menurut Tula, bisa jadi dia 'tak sengaja' terlihat angkuh. Orang lain saja yang tak mampu mengimbangi cara berpikir Habo. Lalu anak itu tak sabar, hingga hasilnya pancaran sikap sombong. Tula bisa menerima logika itu. Tapi tidak dengan Sinabung. Dia pernah menonjok hidung Habo ketika mereka masih di tingkat Pendidikan Umum Senior.
Sebentar saja Habo dan robotnya sudah menjadi pusat perhatian. Tuan-tuan dan Nyonya-nyonya memandang dengan tatapan campuran antara bertanya-tanya dan khawatir—untuk apa dia membawa benda aneh menggelinding ribut ke rumah duka? Di mata anak-anak muda, robot itu tontonan menarik di suasana sedih dan tegang seperti ini.
"Tuan-tuan dan Nyonya-nyonya, mohon perhatiannya sebentar," teriaknya.
Robot di sampingnya mengeluarkan suara decit-decit mesin yang membuat ngilu. Nut! Habo menekan sebuah tombol di remote-nya. Klontang, klontang, klontang! Tangan-tangan atau sulur—atau apa pun namanya—milik benda itu terkulai. Benda itu dia matikan.
"Wow!" Beberapa anak muda berdecak kagum kecuali Sinabung, Mambang, dan Tula.
Keberadaan robot canggih di Kota 65 memang belum terlalu populer. Bukan masalah teknologinya yang pasti bisa dipelajari para scientist. Tapi semua ini masalah material yang sangat terbatas.
"Mohon maaf mengganggu Tuan-tuan dan Nyonya-nyonya. Mohon maaf juga telah mengganggu acara kesedihan kalian, Paman Embara dan Bibi Gefria." Pandangannya berpindah-pindah pada objek yang diajaknya bicara dengan percaya diri
Mambang, Sinabung—yang sekarang berdiri—dan Tula hanya mengawasi dari seberang. Jarak dari tempat mereka berdiri ke toko Keluarga Embara paling hanya lima meter. Jadi, mereka tetap bisa melihat dan mendengar jelas semua kejadian dari situ.
Sinabung melipat tangannya di depan dada. Mata tajamnya menatap Habo penuh kegeraman. Jelas, dia punya banyak dendam belum tuntas. Atau sebenarnya bukan dendam, dia hanya benci saja pada bocah itu. Nyonya Gefria terus tersedu-sedu. Tuan Embara tak peduli dan masih duduk lemas di kursinya. Mambang berdiri kaku. Satu tangannya dalam kantung mantel. Satunya lagi dia kepalkan di depan bibir dan menumpu hidungnya. Di mata Tula, Mambang semakin keren kalau sedang serius.
"Robot di sebelahku ini adalah Cikal Bakal Roboarkeolog," seru Habo membuat Tula mengalihkan pandangannya dari Mambang. "Semua warga Kota 65 tenang saja. Tidak akan ada lagi arkeolog yang akan turut serta ke Tanah Bebas. Tidak akan ada lagi roga-roga selanjutnya. Aku yang memastikan itu! Aku dan pemerintah Kota 65 segera menyempurnakan robot ini."
"Yeiiiyyy!!!"
Para hadirin berteriak senang. Sebagian malah bertepuk tangan.
"Ya, ampun!!!" Sinabung sudah tak kuasa menahan emosinya. "TUKANG PAMERRR! NORAK!"
"Dia mencuri panggung Pak Walikota," sahut Mambang.
Sinabung terus menatap Habo yang masih berkata-kata sombong di seberang sana. Kalau dia pahlawan super, matanya itu pasti sedang mengeluarkan laser berwarna merah yang sekarang juga memotong-motong tubuh Habo. Tula melirik pada Mambang.
"Maksudnya?" Tula bertanya.
Mambang melihat Tula sekilas dan menatap ke depan lagi. Kaki gadis itu bergeser sedikit lagi menjauhi Mambang. Tadi itu tak disadari mereka jadi terlalu berdekatan lagi.
"Harusnya Papa yang mengumumkan ini nanti di acara doa bersama."
"Hey, Anak Muda!"
Tula kenal suara itu. Tuan Para menyeruak dari kerumunan.
"Sudah, sudah, simpan dulu robotmu," katanya mendekati Habo dalam gerakan menghalau anak ayam pergi. "Para hadirin, sebentar lagi doa bersama akan dimulai di alun-alun. Sebaiknya kita semua bergerak ke sana sekarang. Mari, semua, mari, mari...."
"Bagus!" pekik Sinabung, mendengkus, dan melepas kaitan tangannya di depan dada.
Dia duduk lagi di besi pembatas. Tula agak lega papanya melakukan itu. Sebab kalau sedetik lagi Habo masih dibiarkan mengoceh, Sinabung pasti akan menubruk ganas anak itu untuk mengusirnya pulang.
Tuan Para cukup disegani di kota ini. Jelaslah, dia skier senior, kan? Itu membuat para pelayat mulai satu per satu berjalan pelan menuju alun-alun. Dari sini tempat itu tidak jauh lagi.
Habo yang sudah kehilangan penonton, menghampiri bibinya itu. Nyonya Gefria memeluk Habo dan menangis kencang lagi. Beberapa kali pemuda itu berteriak kepada anak-anak agar jangan menyentuh-nyentuh robotnya.
"Mampus!" maki Sinabung masih kesal.
Tula membalikkan badan ke arah sungai. Berkilometer menyeberangi hamparan tanah datar ini, aktivitas permukiman di sisi vertikal barat kota juga ramai. Di sanalah, rumah duka keluarga Haykal Laksmana berada. Terlihat kereta gantung-kereta gantung berseliweran lebih ramai dari biasanya.
Kereta gantung juga meluncur padat merayap dari penjuru sisi vertikal lain ke Tanah Datar Kota 65. Semua aktivitas terlihat jelas dari bawah ini.
"Omong-omong," kata Tula. "Mengapa setiap kasus arkeolog atau militer yang tak kembali, pemerintah dengan yakin mengatakan itu kematian? Mengapa bukan telah hilang saja? Kita bahkan tidak pernah melihat jasad mereka sama sekali, kan?"
Mambang bergerak, menunjukkan gesture hendak menjawab. Padahal pertanyaan itu bisa untuk siapa saja. Tapi mungkin karena dia anak walikota, dia merasa punya kewajiban menjawabnya daripada Sinabung.
"Manusia-manusia sebelum kita kebanyakan hancur peradabannya karena suka menggambarkan sesuatu yang sudah jelas-jelas buruk dengan nama-nama indah dan penuh harapan. Lagian memang tidak ada yang pernah kembali jika sudah dinyatakan hilang di Tanah Bebas."
"Hey, para senior!!! Asyik sekali ngobrolnya!"
Suara itu membuat mereka semua menoleh. Sinabung langsung pasang wajah ingin menerkam. Mambang memicing. Tula tersenyum.
KAMU SEDANG MEMBACA
BULAN TULA
Science FictionRoga Embara, kembali persis setelah doa bersama atas kematiannya diselenggarakan di alun-alun Kota 65, Nusantara Barat bagian utara di Underworld. Dia ditemukan prajurit militer penjaga gerbang utama dalam kondisi sangat lemah. Sepanjang sejarah Kot...