DI RUANG kerja ibunya, Tula merenung. Dia bersandar pada kursi putar berbahan kulit cokelat. Dia memandang foto sekelompok orang berlatar sebuah gedung runtuh di Tanah Bebas. Segalanya berwarna oranye di atas sana. Meskipun semua orang bermasker, Tula mengenal yang mana Lika. Tentu saja petunjuk ini pertama kali didapat dari Tuan Para. Saat skier pendiam itu memberikan foto ini untuk Tula simpan.
Pada sosok ibunya itulah pandangan terkunci dan mengantarkan pikirannya menjelajah ke mana-mana. Jika dulu dia memandang dan berkhayal dalam perasaan penuh semangat dan harapan, sekarang dalam perasaan putus asa.
Dari salah satu penemuan literasi Lika, Tula pernah membaca juga melihat gambar-gambar. Dulu pakaian mirip seperti ini dipakai para astronot. Bedanya para arkeolog Kota 65 berpakaian serba cokelat dengan segala gradasinya karena akan menyarukan mereka dengan lingkungan Tanah Bebas.
Orang-orang pra-apocalyptic banyak yang bermimpi menjadi astronot agar mampu menjelajah di luar angkasa sampai ke planet lain. Mungkin, seperti inilah perasaan orang-orang purba itu kala melihat foto para astronot dengan pakaian lengkap mereka. Siapa sangka beribu tahun kemudian, sebagian orang-orang di peradaban Tula malah merindukan menjelajah di atas bumi mereka sendiri.
Memang, beberapa koloni manusia ketika bumi diprediksi hancur 1700 tahun lalu, banyak yang menyelamatkan diri ke Mars. Jadi, bukan hanya astronot yang bisa bolak-balik bumi dan planet lain. Tapi, itu bagi manusia-manusia di negara sangat maju. Itu pun harus dari keluarga kaya raya. Nenek moyang Tula mungkin hanya mampu melarikan diri ke bunker-bunker di perut bumi Nusantara—yang gratis.
Tuan Para melongokkan kepala ke ruang kerja Lika, sebelum bersandar di ambang pintu. Setelah doa bersama selesai di alun-alun, keduanya segera pulang ke rumah. Tuan Para tentu harus kembali lagi ke depan panel-panelnya untuk memberhentikan gerimis. Sementara Tula sedang tak bersemangat. Padahal tadi dia diajak Sinabung ke permukiman Kota 65 sisi vertikal barat dan mampir di rumah keluarga Haykal.
"Nggak, ah. Kau saja, Bung. Aku mau pulang," tolak Tula tadi.
"Tula," panggil Tuan Para pelan.
Gadis yang memang sudah menyadari kehadiran Tuan Para sejak tadi memandangi papanya dengan tatapan sedih. Dia berharap kegalauannya sampai pada Tuan Para.
"Mungkin..., kau mau coba mengendalikan langit-langit kota sekarang?" tawar Tuan Para sambil jempolnya menunjuk ke belakang tubuhnya.
Remaja itu menghela napas sebagai jawaban. Dia agak kecewa. Bukan itu penghiburan yang dia mau. Lagian ini terlalu cepat. Dia butuh waktu menata kemantapan untuk menjadi skier yang pekerjaannya hanya duduk-duduk saja seharian. BOSAN!
"Maksud Papa, jagakan pusat kendali sebentar. Papa dipanggil Pak Licus ke balai kota. Ada rapat," jelas Tuan Para karena melihat anaknya itu menyangka ini hanya sekadar upaya membuat Tula jatuh cinta pada pekerjaan skier. Padahal dia memang sedang membutuhkan bantuan Tula.
Tula menegakkan duduknya. "Rapat apa, Pa?"
Jelas Tula heran. Papanya sangat jarang ikut-ikut rapat di Balai Kota. Biasanya dia ke Balai Kota hanya dua kali dalam setahun, mengantar laporan tahunan dan rapat persiapan ulang tahun kota. Laporan tahunan jatuh di bulan Desember dan ulang tahun kota juga masih lama.
Tuan Para berjalan masuk dan bersandar pada meja di depan Tula. Dia melipat tangannya lalu memberikan tatapan hangat pada putrinya.
"Sebulan ini mungkin kota akan disibukkan dengan megaproyek Roboarkeolog. Semua scientist, enginer, bahkan yang punya sedikit kemampuan di bidang itu diperbantukan. Papa salah satu yang diminta membantu agar proyek ini cepat selesai."
Menekan kedua tangan di pinggiran kursi, Tula diam saja. Kok, rasa di hatinya sakit sekali, ya. Secara tak langsung tangan papanya juga ikut membantu mengubur profesi arkeolog selama-lamanya. Tapi, akhirnya dia berdiri.
"Ya, sudaaah," katanya pasrah dan beranjak.
Sebelumnya, dia menghadap papanya lagi. "Apakah seharian awak harus ada di ruangan membosankan itu?"
Rambut-rambut di wajah Tuan Para bergerak naik. Tersenyum.
"Tentu saja enggak, Tula. Kau hanya perlu mengingat waktu-waktunya aja. Ada buku panduan Papa tinggalkan di atas meja. Kau bisa baca-baca dulu."
Tula mengangguk.
"Nanti malam, Mal akan datang menjaga pusat kendali," imbuh Tuan Para menyebutkan nama asistennya itu.
Mal, skier junior Kota 65, didikan papanya. Hanya dia, Mal, satu orang saja murid papanya. Jarang ada anak muda yang ingin jadi skier. Meskipun belajar berdasarkan kurikulum yang disusun Dewan Pendidikan Tinggi, pendidikan keprofesian di Kota 65 langsung ditangani profesi-profesi dari tingkat senior atau para ahli. Mereka akan langsung terjun ke pekerjaannya dan belajar.
"Papa sampai malam?"
Tuan Para mengangkat bahu, "Belum tahu. Tapi untuk jaga-jaga Mal udah Papa suruh ke sini."Lagi-lagi gadis itu hanya mengangguk. Ini sudah sore. Paling dia hanya dua sampai tiga jam menantikan malam. Itu cukup melegakan sedikit.
"Papa pergi dulu, ya."
Tula mengangguk—again and again. Memangnya dia bisa apa lagi? Dengan ekspresi datar itu, dia sudah mirip dengan para Dociler.
KAMU SEDANG MEMBACA
BULAN TULA
Science FictionRoga Embara, kembali persis setelah doa bersama atas kematiannya diselenggarakan di alun-alun Kota 65, Nusantara Barat bagian utara di Underworld. Dia ditemukan prajurit militer penjaga gerbang utama dalam kondisi sangat lemah. Sepanjang sejarah Kot...