DUKA MENDALAM

126 26 14
                                    

BUNYI decitan dan kelentang terdengar, ketika Tuan Para menarik tuas stopper kereta gantung persis di pemberhentian River Street, Kota 65. Vehicle bermuatan maksimal empat orang itu terbuat dari daur ulang besi-besi terbaik peninggalan tahun 2100-an. Tahun-tahun terakhir sebelum bumi ini benar-benar rusak dan enggan memberikan apa-apa lagi padamu. Bumi telah benar-benar pensiun dan muak dengan tingkah manusia.

Tuan Para melepas kaitan kereta gantung dari sling super tebal yang simpang siur di atas Kota 65. Kereta diturunkan dan tiga roda keluar secara otomatis. Mereka harus memarkirkan benda ini di tempat yang sudah disediakan pada setiap pemberhentian kereta gantung.

Tula melihat ke kanannya sambil tetap berpegangan pada handling di panel pengendali kereta. Tidak ada kursi di kereta gantung. Semuanya harus berdiri. Sekitar lima puluh meter ke sana, rumah sekaligus toko keluarga Tuan Embara terletak. Sudah ada banyak orang berkerumun di depan toko mereka. Meskipun rintik gerimis tak dihentikan Tuan Para. Tula baru menyadari dan berpikir kalau tadi pasti papanya telah menurunkan volume gerimis, hingga bisa diabaikan. Atau air mata duka sudah jauh lebih terasa deras dibanding hanya sekadar gerimis.  

Hati Tula terendam duka. Bang Roga.... Air mata jatuh tanpa bisa dikontrol lagi.

Tuan Para menoleh, karena Tula tak kunjung keluar kereta padahal pintu sudah dia bukakan. Soalnya seperti biasa, Tuan Para akan menantikan anaknya itu keluar duluan. Mendapati gadisnya mematung, laki-laki itu memberikan pelukan hangat.

"Tulaaa, kita datang untuk menghibur keluarga Embara. Kita akan mengatakan, bahwa ditinggal orang yang disayangi itu memang sangat sakit. Tapi mereka pasti mampu bertahan sama seperti kita. Kekmana kau mau katakan itu kalau kau sendiri aja kekgini?"

Tula malah mengeraskan tangisnya di dada Tuan Para.

"Sudah, sudah! Kuat kau. Kuat!"

Papanya melepas pelukan dan menepuk kedua lengan kurus Tula. Perempuan itu menghapus air mata di wajah putihnya. Hidung mancung itu langsung memerah. Bibirnya basah karena ludah dan air mata. Semua sudah kering berkat jasa mantelnya. Gesekan kain yang kasar, membuat merah tak lagi hanya pada hidung tetapi wajahnya.

Mereka jalan beriringan.

"Tuan Para," sapa seseorang.

Ternyata itu Tuan Raksa, seorang enginer yang periang dan selalu tersenyum.

"Hey, apa kabar?" Tuan Para menyalaminya.

"Baik, sangat baik. Sudah lama, ya, tidak ada kerusakan di sana." Laki-laki itu menunjuk ke atas. Tentu saja yang dimaksud rumah Tuan Para.

"Tidak, memang tidak, enginer kota ini hebat semua. Kerusakan jarang terjadi," puji Tuan Para.

"Aih, aih! Tidak begitulah, Tuan Para. Penduduknya saja yang jago merawat apa-apa yang mereka miliki."

"Kita nggak punya banyak pilihan, selain merawat yang sudah kita miliki, kan?"

"Ya, kau benar, Tuan. Mendapatkan benda-benda yang kita miliki di sini taruhannya itu... nyawa."  

Pria dengan rambut lurus lebat dan bergaya tidak rapi itu mengarahkan wajahnya ke rumah keluarga Embara. Beberapa saat kemudian, dia akhirnya menoleh pada Bulan Tula.

"Loh, anak ini! Sudah besar 'kali kau sekarang, ya?" Dia melebarkan matanya yang memang sudah lebar.

Bulan Tula meringis. Matanya sedikit berkedip, ketika setitik gerimis menyentuh bulu matanya. Perkataan ini sering kali didengarnya dari hampir semua warga Kota 65 yang sudah lama tak bertemu. Dia juga menyadari. Tubuhnya tak berhenti tumbuh.

Tula mengangguk. "Iya, Tuan."

Tuan Raksa menepuk pundak Tula pelan dan meneruskan bincang-bincang dengan Tuan Para.

"Wuah, sudah hampir dua tahun tidak ada lagi kabar buruk seperti ini, ya, Tuan Para. Sayang sekali, Roga itu anak yang baik. Aku sedih sekali."

Mereka melanjutkan berjalan ke rumah keluarga Embara. Tula mundur sedikit dan membiarkan papa dan temannya itu ngobrol.

Semakin dekat mereka dengan rumah keluarga Embara, tangisan histeris Nyonya Gefria terdengar. Wanita gemuk itu melihat kedatangan Tula dan langsung tambah histeris. Mungkin, dia mengingat bagaimana anaknya itu sering menggoda Tula ketika berbelanja ke tokonya.

"Huaaa!!!"

Bulan pun lari dan memeluk wanita itu.

"Nggak ada lagi Roga, nakkuuu!!! Dia baik, kan, Tula? Baik, kan?"

"I...iya, Nyonya. Baik 'kali. Baiiikkk...." Lehernya tercekat.

Tula tak mampu lagi berkata-kata selain menangis dan terguncang dalam pelukan wanita itu.

BULAN TULATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang