ROGA KEMBALI

56 15 24
                                    


DENGAN kedua kaki diangkat ke atas meja, Tula duduk setengah rebah di kursi bersandaran tinggi Ruang Kendali Langit-langit Kota 65. Dia menggoyang-goyangkan kepalanya ke kiri dan kanan. Sebuah lagu klasik dari tahun 2017 berkumandang dalam volume sedang di ruangan itu. Selera musiknya dan Tuan Para lumayan punya benang merah. Keduanya suka musik dari era itu. Jadi, daftar lagu milik papanya ini masih bisa dia nikmati.

Lagu berbahasa kuno yang kata Tuan Para adalah bahasa nenek moyangnya, Batak ini diputar dari sebuah flashdisk. Benar-benar kuno sekali.

Tak tahu melakukan apa-apa lagi, Tula menghabiskan membaca buku panduan "Pengendalian Langit-langit, Mekanisme, dan Maintenance bagi Skier Pemula". Dia memang suka membaca. Jadi, tidak masalah membaca saja sekaligus membunuh waktu.

Shiiing.... Suara pintu menggeser membuat Tula seketika bergerak. Mulai dari menegakkan badan, menurunkan kaki, dan menutup buku. Semua gerakan itu dilakukan bersamaan. Menoleh, dia melihat Mal tersenyum sangat lebar.

"Hey," sapa Tula, kembali bersandar dan meneruskan membaca.

Mal hanya mengangkat alis tanpa memudarkan senyum. Setelah membuka topi dan mantelnya, Mal melangkah cepat ke dekat panel. Langkah tergesa itu membuat Tula menoleh heran. Dia langsung merasa pasti ada yang salah ketika melihat ekspresi Mal. Cowok berusia sepantaran Roga itu memandang jauh keluar jendela kaca super besar. Tatapannya meneliti langit-langit.

"Tula..., kau tak lihat awan itu udah bergeser?" tanyanya kemudian menunduk melihat panel.

"Mana?" Tula sontak berdiri dan memperhatikan langit-langit.

Awan buatan itu memang telah bergeser menutupi sebagian besar langit-langit kota. Dia lalu menunduk, mencari penanda di panel. Ah, iya, icon berbentuk awan menyala merah. Ini penanda dari pengendali udara bahwa mereka telah menggeser awan. Persis seperti yang baru dibacanya di buku panduan.

"Seharusnya hujan sudah kauturunkan, Tulaaa," sesalnya sambil sibuk memencet-memutar-menarik beberapa tombol.

Tak lama, byuuurrr. Hujan turun membasahi Kota 65. Pantas saja Tula tak melihat siapa pun berseliweran di bawah sana. Orang-orang sudah dapat informasi kalau malam ini akan hujan deras sampai pukul sepuluh.

"Maaf, Bang, aku nggak lihat tandanya," ucap Tula merasa tak enak.

"Tak apa," balasnya.

Lelaki berwajah oval dan berkulit agak gelap itu menarik sebuah kursi dan duduk persis di depan panel. Tula di sebelahnya pun duduk lagi, tapi kali ini dia meletakkan bukunya di meja. Mereka berdua menatap kota yang sudah kuyup.

"Jangan banyak melamun, Tula. Beginilah hidup. Ada yang datang dan pergi. Jangan terlalu dipikirkan."

"Kenapa Abang memilih jadi skier?" tanya Tula melenceng dari topik yang dilemparkan Mal.

Dia mulai mencoba mencintai profesi ini. Lagipula dia tak ingin lagi membahas tentang kematian Roga—minimal malam ini.

"Aku? Kenapa tanya itu?"

Tampak sekali Mal tak siap dengan pertanyaan dadakan itu. Dia mungkin lebih siap membahas Roga dan kehebohan tentang megaproyek Roboarkeolog. Hotnews Kota 65 hari ini.

"Hanya ingin tahu alasan Abang aja," katanya dalam tatapan mendesak.

"Hmmm." Mal bergerak kaku.

Tula menunggu. Dia paham, beberapa orang bahkan tak pernah punya alasan jelas saat melakukan sesuatu. Apa nasib yang datang padanya, ya, kerjakan saja. Bisa jadi Mal juga demikian.

"Aku suka langit," katanya. "Dan, aku suka hujan."

Mal diam. Tula pun diam. Sengaja dia lakukan, agar Mal mau bercerita lagi. Benar saja. Mal mulai membuka suara sambil nanar memandang sulur-sulur air di dinding kaca.

"Aku bayangkan jika kota ini tak memikirkan langit-langit dan tak ada lagi yang mau jadi skier, tidak akan ada yang pernah merasakan keindahan hujan. Menurutku, hujan mampu membuat manusia mau berhenti dari terus memikirkan dunia dan segala kesibukannya. Hujan membuat mereka berdiam diri di rumah, berkumpul dengan keluarga, minum minuman hangat, dan melamun."

Mal menoleh. Dia merasa sudah kebanyakan bicara tapi Tula diam saja. Jangan-jangan yang diajak bicara tak peduli. Ternyata Tula nyaris memelototinya. Tula sendiri jadi bergerak gelisah, karena menangkap pandangan Mal seolah berkata 'sekarang giliranmu bicara'.

"Awak...awak..., aku...."

Kata ganti 'awak' acapkali menggantikan kata 'aku' jika yang diajak bicara lebih tua atau orang yang dihormati. Tula mengucapkan itu tanpa sadar. Dia segera mengganti menjadi 'aku' kembali supaya tidak terlihat terlalu formal dan berjarak pada Mal.

"Sebenarnya..., aku suka bulan, Bang."

Awalnya Tula ingin menanggapi tentang mengapa Mal mau menjadi skier. Alasannya itu memang sederhana. Namun, terdengar indah bagi Tula. Hanya, dia tak menemukan kata untuk memberikan pujian. Karena dia tak menyangka tenyata pekerjaan skier bisa seindah itu di mata orang ini.

"Tapi, sayang... bulan di kota ini hanya boleh muncul pada hari ulang tahun kota saja."

"Serius kau suka melihat bulan?" tanya Mal antusias.

"Iya, Bang. Kenapa?"

Jangan bilang dia mau menghidupkannya sekarang. Bisa-bisa Tuan Para mengamuk karena mengacaukan jadwal cuaca.

"Aku masih punya satu kartu bebas untuk menghidupkan bulan. Kalau kau mau, bisa kau pakai di hari ulang tahunmu bulan depan."

Tula tahu, setiap skier dikasih dua kali kebebasan memunculkan bulan atau pelangi tanpa harus mengikuti jadwal cuaca. Asal tidak menyalahi logika alam.

"Kau serius, Bang?" Mata Tula membelalak begitu lebar dan bersinar seperti purnama.

Mal mengangguk.

"Makasi banyak, Bang!" kata gadis itu.

Wajahnya semringah. Kedua tangan kurusnya menggenggam lengan kiri Mal yang bertumpu di sisi kursi.

"Tak masalah."

Mal berdiri dan memutar sebuah tombol. Volume hujan sedikit berkurang.

"Bisa banjir ini kota kalau terlalu deras terus," katanya tanpa diminta.

Kling! Kling! Kling! Bunyi lonceng pintu. Ada yang datang.

"Sebentar, Bang."

Tula berlari meninggalkan Mal. Bunyi kelontang sangat ribut membahana saat dia tergesa-gesa menuruni tangga besi melingkar. Bunyi sepatu Tula dan tangga beradu. Siapa yang datang hujan-hujan begini? Dia sangat penasaran. Tula membuka pintu.

"Sinabung?"

Sinabung berdiri di atas otopednya. Air hujan mengalir di mantel kedap air miliknya. Mata itu melotot.

"TULA! Bang Roga kembali!!!" pekiknya.

BULAN TULATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang