SINABUNG

88 23 18
                                    

SEMAKIN banyak teman Bang Roga datang, Nyonya Gefria semakin sedih. Dia seolah menumpuk kejadian-kejadian masa lalu di wajah para sahabat anaknya. Tidak hanya hari ini, Tula memprediksi. Selamanya, wajah-wajah itu akan menjadi pengantar ingatannya pada Bang Roga.

Tula mengerti betapa sesaknya itu. Dia saja masih sering mendapati Tuan Para menangis di ruang kerja mamanya.

Gadis itu tak sanggup lama-lama menatap wajah sedih kedua orangtua Bang Roga. Tuan Embara yang biasa terlihat sangar saja, terduduk lemas dengan wajah pias.

Tula membuang pandangan berkeliling. Warga Kota 65 seolah tumpah ruah di sini, memenuhi River Street. Nyonya Gefria sekarang ada dalam pelukan Bibi Malem, mamanya Sinabung.

Eh, mana anak itu? batin Tula.

Bunyi ribut kaleng dan deru mesin keras terdengar dari sudut jalan. Anak itu pasti! Tula menebak dalam hati. Benar saja. Hanya dia yang punya otoped jelek dan bangga. Benda itu bermesin biodiesel minyak tumbuhan buatannya sendiri. Memiliki mesin penggerak lebih besar dari ukuran otoped, membuat benda itu seperti wanita kurus berbokong sangat besar.

Wajah ovalnya menyembul dari asap hasil ekskresi otoped itu. Dia seperti baru berteleportasi entah dari mana dan muncul 'ploop!' di sini melalui kepulan asap beraroma daun minyak. Itu karena saking terlalu banyak asap yang dihasilkan.

Tak sabar, Tula menghampirinya. Sinabung masih di seberang toko Keluarga Embara untuk mengamankan propertinya.

"Kapan kau berhasil mengurangi asap kendaraan mungil ini? Pesawat militer kota saja, yang besarnya hampir satu rumah..., asapnya nyaris tidak ada," cibir Tula saat sudah mendekat.

"Ah, yang penting aku sudah bisa buat sendiri kendaraan semi terbang!" katanya tetap dalam kejemawaan.

Memang, otopednya itu tidak bergerak dengan roda. Melainkan melayang sekitar lima senti di atas tanah atau bisa lebih tinggi lagi kalau mau. Tula mencebik, kalah debat.

"Aku pikir, peristiwa ini pasti berakibat buruk padamu, Tula." Sinabung melirik kerumunan di toko Keluarga Embara.

Mereka segera melupakan pembicaraan tentang otoped aneh Sinabung dan berganti membicarakan topik utama hari ini.

Cowok delapan belas tahun itu menarik gulungan handsock tak beraturannya dan merapikan kembali. Lalu, dia membetulkan rambut yang berponi panjang dan berwarna abu-abu asli.

"Yaaa, itu jelas sekali, lah!" ujar Tula emosional.

Gadis itu duduk di sebuah besi pembatas antara River Street dan tangga-tangga curam menuju sungai buatan di bawah sana. Bokongnya dia empaskan akibat energi kesal yang berkumpul padat di hatinya.

"Tentu Papa makin melarangku ikut pendidikan arkeolog. Semua pintu sudah tertutup bahkan terkunci rapat sekarang! Tak ada celah lagi untuk membujuknya." Kalimat sederhana Sinabung berjaya membuat Tula merepet.

Sinabung tidak ikut duduk. Menghela napas, dia hanya menaikkan sebelah kakinya di besi sebelah Tula duduk. Pandangannya jauh ke sungai dangkal yang mengalir santai. Sepatu boot dengan sol besi itu berkelentang ketika beradu dengan pembatas berbahan serupa. Satu tangan, dia tumpukan ke paha.

Tula mendongak. Dia hanya bisa melihat dagu kokoh Sinabung dan ujung lancip hidungnya.

"Kau, tuh, yang enak, bisa ikut pendidikan!"

Sinabung melirik ke bawah melihat Tula sebentar, lalu memandang sungai lagi.

"Mama Malem juga memikirkan hal serupa sekarang. Dia melarangku."

Kepala Tula seakan mengembang, mendengar kabar mengagetkan itu. Padahal, Tuan Sibayak, papanya Sinabung adalah kepala bagian kurikulum Pendidikan Tinggi Arkeologi Kota 65.

"Serius?" Kini Tula menunjukkan ekspresi terkejut maksimal.

"Iya, lah." Sinabung menurunkan kaki dan akhirnya ikut duduk di samping Tula. "Bahkan kabarnya, Pendidikan Arkeolog akan ditutup."

Tula gantian berdiri. Energi dari rasa terkejut, melonjakkan tubuhnya begitu saja. Ini pembicaraan penting.

"Sampai segitunya?" Setengah menunduk, dia memandang Sinabung agar segera memberikan penjelasan lengkap.

Sinabung mengangguk.

"Kau tahu dari mana?" cecarnya lagi semakin gemas karena Sinabung tak segera menjelaskan rinci. "Siapa nanti yang mencari material untuk kota ke Tanah Bebas? Mau jadi apa kota ini kalau...."

"Kau tenanglah, Tula. Aku juga masih dengar sepintas lalu. Tadi aku ke alun-alun, mengantar dokumen Papa yang ketinggalan. Papaku dan Pak Wali sedang mengawasi persiapan doa bersama. Mereka tak dengar langkahku saat datang. Jadi yang kudengar hanya potongan ucapan Pak Wali. Mudah-mudahan saja itu sekadar pertukaran pendapat biasa demi menyikapi kejadian ini."

"Iya, lah! Nggak mungkin itu. Arkeolog pekerjaan penting untuk kota ini. Konyol 'kali kalau solusinya pendidikan ditutup. Harusnya, kurikulum pendidikan ditinjau ulang dan cari cara bagaimana supaya arkeolog itu mampu bertahan di Tanah Bebas! Pak Licus itu bodoh atau bagaimana, sih! Pendapat seperti itu bisa keluar dari kepala seorang walikota saja sudah bodoh. Apalagi kalau sampai dilaksanakan!"

Saat mengatakan itu semua, Tula berjalan mondar-mandir. Kedua tangan mengepal di samping kantung mantelnya. Kekesalan memang membuat orang susah berdiam diri. Bagaimana bisa cita-citanya sejak kecil begitu saja terhapus dari peradaban kota ini?

"Kan, belum diputuskan, sih. Kalaupun memang itu keputusannya, pasti pemerintah kota udah memikirkan matang-matang, lah!"

"Sinabung benar."

Suara empuk seorang laki-laki hadir di antara mereka berdua. Prediksi asal suara ditambah arah mata Sinabung yang menyeberang melalui bahunya, membuat gadis itu segera membalikkan badan.

Kini, Tula terperanjat pada hal yang berbeda lagi. Kali ini jantungnya memompa berliter-liter darah lebih banyak saat tahu siapa cowok yang menyahuti pembicaraan mereka. 

Lututnya lemas. Perutnya dipenuhi serangga imajiner. Bukan hanya merasa tak enak karena dia baru mengumpat tentang kebodohan Pak Licus, sang walikota yang juga ayah manusia tampan ini. Namun juga, dia telah dari lama menyimpan rasa suka dan simpati pada Mambang Kejora.

BULAN TULATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang