HANYA INGIN BERSENANG-SENANG

39 14 7
                                    


SEKARANG Tula mengerti bahwa kepulangan Roga bukan kabar baik seperti yang awalnya dia pikirkan. Justru sebenarnya menambah deretan panjang alasan untuk tidak lagi mengirim manusia ke Tanah Bebas. Pasrah, pagi ini dia malah meminta Tuan Para jangan dulu mengizinkan Bang Mal datang. Dia ingin coba mengendalikan langit-langit sendiri.

"Akulah skier sejati kota 65! Hahaha!" seru Tula dengan suara dibuat dalam dan berwibawa di depan panel-panel pengendali.

Dia lalu naik ke atas kursi, "Akulah keturunan Tuan Para, seorang skier bertuah nan bijaksana itu! Hahaha!"

Kalau Tuan Para melihat tingkah Tula itu, dia pasti mengira anaknya sudah gila. Mungkin, Tuan Para benar. Ah, tapi tidak juga. Tula hanya berusaha menghibur dirinya. Namun, ternyata penghiburan itu terdengar sebagai satir di telinganya. Sialnya itu menyindir diri sendiri.

Akhirnya Tula mendapatkan ide bernas untuk membuat hari ini ceria. Benar-benar ceria. Dia memutar tombol 'brightness' ke arah atas. Dia berhenti ketika tombol itu tidak bisa diputar lebih ke atas lagi. Full!

"Ah! Apa nggak bosan warga kota pagi-pagi sendu terus? Ya, kan?" katanya pada diri sendiri.

"Naaah, begini bagus!" pujinya. "Untuk apa kau dibuat berskala setinggi ini, wahai Tombol Brightness? Kalau nggak pernah dipergunakan?! Hehew."

Tula tersenyum bahagia, ketika melihat orang-orang sebesar semut di bawah sana mendongakkan kepala melihat langit-langit. Beberapa malah sampai menghentikan langkah dan menikmati hujan cahaya di pagi hari. Setidaknya, itulah yang dianggap Tula. Orang-orang menikmati, bersemangat, dan bergembira.

Saat berdiri bertolak pinggang, bibir dia tipiskan sembari dalam kepalanya muncul hal lain. Dia melompat dari atas kursi. BAM!!! Orang-orang menikmati, kenapa dia tidak? Ini langka terjadi di sini. Dia keluar dari pusat kendali tanpa membawa mantelnya. Benda apa itu? Dia mengekeh, menertawai guyonan di kepalanya sendiri. Cahaya pasti bisa menghangatkan.

Di jalan kecil depan rumahnya, dia membentangkan tangan. Betapa enak dunia yang terang ini, batinnya sambil memejamkan mata.

Bahkan dari kelopak matanya yang tertutup, dia masih bisa menikmati hunjaman cahaya terang. Warnanya kuning kemerahan. Indah seperti melihat bulan dan matahari sekaligus.

"Hey, Kak Tula!" pekik Beyril dari jendela rumahnya.

Beyril, anak usia delapan tahun, anak Tuan dan Nyonya Intanya, tetangga mereka melongokkan kepala heran.

"Sini kau, Bey! Ada hujan cahaya!" Tula malah mengajak anak itu untuk keluar rumah.

Sontak kepala gadis itu lenyap dari jendela dan pintu rumahnya terbuka beberapa detik kemudian.

"Kak? Ada apa ini? Kok, terang 'kali." Dia terkagum-kagum memandang semua lampu langit-langit menyala terang.

"Kau suka?" tanya Tula sambil berputar-putar.

"Hihi, iya, Kak!" Beyril melompat dan ikut berputar.

"Nikmatilah... ini tak 'kan berlangsung lama!" nasihatnya.

Beyril dan dirinya sudah puas menari-nari dan berputar-putar sampai kepala pening ketika Sinabung muncul dari ujung jalan.

"Hoy! Apa yang terjadi?" pekiknya.

Tula tak menjawab. Dia malah berlari ke arah yang berlawanan dengan Sinabung.

"Tula!" pekik Sinabung.

"Bang Sinabung." Beyril menyapa ramah. "Wayooo, nggak bisa lewat sini. Hadapi aku dulu!"

Beyril merentangkan tangannya, malah mengajak main.

"Awas, Beyril!"

Tula melihat ke belakang ketika mendengar suara bentakan Sinabung.

"Bagus, Bey! Anak yang pintar!" desis Tula.

Beyril sudah dipenuhi asap otoped Sinabung sekarang. Itu malah membuatnya menari-nari di kepulan asap. Gerakan liarnya itu, malah membuat Sinabung takut melajukan otopednya. Dia takut menubruk tubuh bocah nakal ini.

"BEY!" Sinabung tampak sangat kesal.

Tula mempercepat larinya. Tujuannya mencapai kereta gantung di ujung jalan. Dia berlari dan berlari. Tak tahu kenapa, dia tiba-tiba tertawa. Dia tertawa. Rasanya menyenangkan. Sudah lama dia tak berbuat nakal. Pertambahan usia membuatnya menjadi lebih kalem. Dan, itu terkadang melemahkannya.

KLANG! Kaki Tula berdebam di lantai besi kereta gantung.

"Hahaha...." Sisa tawa campur ngos-ngosan bergema di dalam kereta.

Dia melajukan kereta cepat-cepat memasuki jalur. Persis ketika sampai di tengah jalur, sebuah tombol dia tekan. Kait di atas kereta otomatis terkunci pada sling dan roda-roda kereta terlipat ke sebuah liang. Setelah tombol tadi berubah warna menjadi hijau bertulis 'terkunci', dia menekan tombol lain bertuliskan 'jalan'. Kereta gantung meluncur turun perlahan.

Ekor mata kanannya sempat menangkap bulatan hitam bergerak di dalam asap. Itu pasti kepala Sinabung. Dia tersenyum mengejek.

"Mari kita main kejar-kejaran, Bung. Udah lama kita nggak main seperti dulu lagi!"

Klak! Tula menambah kecepatan kereta gantungnya. Ciiiit!!! Kaitan besi dan sling menimbulkan bunyi mendecit keras dan kontiniu. Tiba-tiba....

TARRR! Bunyi ledakan sangat dahsyat mengawali bunyi-bunyi lainnya. KLANG! Kereta Tula berhenti mendadak persis sama dengan bunyi ledakan. DUG!!! Dia yang tak menyangka itu akan terjadi, langsung tersungkur dan kepalanya terseruduk menghantam panel.

"Shhh!" Tula mendesis kesakitan sambil memegangi jidatnya.

Belum lagi dia sempat meresapi dan menikmati rasa sakitnya, cahaya meredup. DEB! DEB! DEB! Secara berkala semua lampu-lampu di langit-langit kota, padam. Beberapa bahkan mengeluarkan api terlebih dahulu. Sekarang, GELAP.

"MATI AKU!!!"

Dia memukul jidat—.

"AUUU!!! Shhh.... Ya, Tuhaaan, kenapa kau tidak bisa melihatku bersenang-senang sebentar saja?"

—persis di bagian yang telah memar dan membengkak.         

BULAN TULATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang