MAMBANG KEJORA

70 19 18
                                    


MULUT Tula seketika terkunci.

"Hey, Mambang." Sinabung menyapa ramah dan berhasil melonggarkan ketegangan selama beberapa detik tadi.

"Hey, Bung! Tula...," balasnya menyapa dua-dua sekaligus.

Kala cowok itu melirik padanya, Tula mendongak—Mambang terlalu tinggi untuk dipandang tanpa mencodak. Keramahan cowok karismatik itu membuat Tula langsung lepas dari kebekuan temporal. Gadis itu mencoba menyembunyikan gelombang Tsunami di dadanya. Dia berusaha memberi jenis tatapan seorang sahabat kepada sahabatnya—bukan dari seorang pengagum rahasia kepada idolanya. Usahanya berhasil. Berhasil membuat wajahnya merah dan aneh.

"Tak baik menguping pembicaraan orang," kata Tula.

Kali ini dalam upaya menimbulkan dua kesan. Dia pura-pura terganggu atas kedatangan Mambang dan dia tidak salah dengan pendapat kalau ide menutup pendidikan arkeologi itu konyol. Tula bergeser selangkah agak menjauh dari Mambang dalam gerakan tak begitu kentara. Baginya, tubuh Mambang seperti memancarkan jaring beracun tak kasat mata untuk membuat dirinya menjadi kaku dan kebas.

"Lain menguping, lain lagi tak sengaja mendengar. Ya, kan, Bung?" lemparnya pada Sinabung.

"Iyyya, laaah! Jelas beda itu!" katanya dengan nada sengaja ditegas-tegaskan dan tertawa.

Tawa cowok periang itu terdengar aneh. Tula mengerutkan kening. Pasti Sinabung merasa tersindir bahwa tadi dia mencuri dengar obrolan papanya dan Pak Walikota. Entah Mambang sengaja atau tidak, entah tahu atau tidak, tapi itu telah menyentil Sinabung telak.

"Kalian berarti belum mendengar proyek Roboarkeolog, ya?" Pertanyaannya lebih berupa informasi baru bagi Sinabung dan Tula.

Sinabung menganga. Tula memicing dan memiringkan kepala, memandang Mambang.

"Itu memang masih proyek rahasia, sih. Tapi, tak 'kan jadi rahasia sebentar lagi kalau memang benar Pendidikan Arkeolog akan ditutup. Itu solusi terbaik kalau menurut aku. Supaya tak ada lagi Roga-Roga yang lainnya."

Mata teduhnya sejenak melirik ke arah Toko Keluarga Embara yang masih padat dipenuhi warga. Dia ingin kembali pada Sinabung dan Tula lagi. Namun, sesuatu yang lebih menarik membuatnya malah memutar kepala sepenuhnya ke Toko Keluarga Embara.

"Cikal bakal Roboarkeolog."

Udara Kota 65 yang alirannya diatur generator pengendali udara, menelan gumaman Mambang. Kata-kata yang antara terdengar dan tidak di telinga Sinabung dan Tula. Sebab kedua orang itu juga tengah menatap tak percaya kedatangan tumpukan rongsokan besi menggelinding di atas roda rantai dengan sabuk kontiniu serupa roda pada tank.

Mesin itu punya kepala aneh dan tangan bercabang-cabang seperti laba-laba sebesar otoped Sinabung. Seorang remaja laki-laki memegang remote control berjalan mendongak angkuh di belakangnya. Dia sepupu Bang Roga. Seorang calon scientist besar Kota 65.

Habonaran, berumur satu tahun di bawah mereka bertiga. Kecerdasan nan brilliant, membuatnya langsung diberikan proyek yang sejajar dengan Anggota Tim Scientist Senior Kota 65. Ditambah lagi scientist di kota ini sedikit sekali jumlahnya. Namun sepertinya keputusan itu salah. Bisa jadi kecerdasannya memang sudah menyeimbangi para senior bahkan lebih, tapi belum tentu dengan attitude-nya.

BULAN TULATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang