TIDAK ada yang membuka pintu padahal Tula sudah mengetuk pintu kamar Roga tiga kali. Dia menoleh pada Sinabung yang berdiri di sampingnya dan mengangkat bahu. Cowok itu malah ikut-ikutan menaikkan bahu. Tapi, kemudian dia maju dan gantian mengetuk.
"Bang Roga, ini kami. Tula dan Sinabung...."
Tidak ada jawaban.
"Mmm..., Nyonya Gefria mengizinkan kami naik dan masuk ke sini," lanjut dia dengan nada ragu karena agak takut.
"Kami hanya ingin—"
Klang! Omongan Sinabung terputus, karena pintu membuka sedikit. Wajah Bang Roga dikepung sudut 30 derajat yang dibentuk tepian bingkai dan daun pintu.
"Siapa kalian?" tanyanya ketus.
Sesuatu seperti aliran listrik menohok Tula. Dia benci dipandang dengan mata dingin seperti itu. Biasanya, dia mendapatkan pandangan hangat dan penuh perhatian dari cowok ini.
Pada kedua tamunya itu, Roga menatap asing. Alisnya yang tebal bertaut. Ujung hidungnya menguncup karena dia mengerutkan kening. Dia memancarkan kewaspadaan, seolah sedetik lagi dua orang di depannya ini akan menyerang. Inikah maksud Nyonya Gefria tadi? tanya Tula pada dirinya.
"Temuilah, abangmu itu di atas, Sayang. Semoga dengan melihat kalian, ingatannya bisa kembali. Ceritalah tentang apa saja."
Kata-kata Nyonya Gefria berputar ulang. Kata-kata yang sempat Tula bisikkan juga pada si Ingin Tahu Sinabung ketika naik tangga barusan.
"Kami.... Ah, aku Sinabung!" Dia mengulurkan tangan, mengajak Bang Roga bersalaman.
Roga menatap tangan itu seperti melihat benda beracun. Bukannya bergerak menerima salam, dia makin eratkan genggaman pada tepi daun pintu. Sinabung cepat meng-undo gerakan tangan dan meletakkannya di belakang punggung ketika menyadari Roga tak 'kan menyambut keramahannya. Dia tersenyum kikuk. Mengajak bersalaman? Keputusan yang salah.
"Aku Tula, Bang. Boleh kami masuk?" sambar Tula menyelamatkan kecanggungan Sinabung.
Kini, Roga memandang wajah Tula. Dia mengernyit dan matanya menusuk mata Tula, sangat sebentar. Sempat ada kecambah harapan di hati Tula, bahwa Roga ingat padanya. Kemudian kepala laki-laki itu berputar, memandang sekilas ke dalam kamar. Tak lama, dia melebarkan bukaan pintu dan melangkah masuk. Sebuah pertanda dia telah menerima kedatangan Tula dan Sinabung. Seiring dengan itu, kecambah harapan Tula, layu. Roga tidak mengingat dirinya pula.
"Masuklah dan tutup pintu kembali," tegasnya membuat kedua remaja itu tak segan lagi melangkah masuk. "Maaf, agak berantakan."
Dia telah duduk di sebuah kursi depan meja belajar yang menghadap jendela, ketika Sinabung beres menutup pintu. Pemandangan yang tersaji dari sini adalah sungai dan jajaran pepohonan tepi hutan kota.
"Terserah duduk di mana enaknya," katanya ketika melihat Tula dan Sinabung hanya berdiri canggung menatapnya di dekat ranjang.
Mau duduk di mana? Tak ada kursi lain selain yang diduduki Roga sekarang. Namun, daripada berdiri-diri seperti bodyguard tak dibayar, Sinabung mendorong Tula sedikit. Dia mengusulkan dengan isyarat kepala agar duduk di tepi tempat tidur. Tula langsung mengerti dan melakukannya. Sinabung menyusul duduk satu hasta di sebelahnya.
Mereka berdua benar-benar tak tahu bagaimana memulai obrolan dengan Bang Roga. Wajah itu memang tak asing, tetapi auranya sama sekali tak dikenali lagi. Sekarang, jarak yang sangat jauh benar-benar terbentang di ruangan ini.
Segumpalan rasa getir pun semakin menyerang batin Tula. Bang Roga memang kembali. Dia tidak terluka parah. Dia tidak terjangkit virus apa pun. Namun, ternyata yang terjadi lebih pahit. Dia hilang ingatan. Konon, ada beberapa kota di luaran sana yang punya teknologi menghilangkan ingatan manusia lain. Tula merinding. Jangan-jangan kabar itu memang benar dan Bang Roga salah satu korbannya.
"Mau apa kalian ke sini? Cepatlah! Aku tak suka kedatangan orang asing, sebenarnya. Tapi karena yang punya rumah ini mengizinkan kalian masuk, apa boleh buat? Aku hanya numpang di sini, kan?" katanya sesekali melirik pada tamunya, sesekali menatap ke luar jendela.
Tula dan Sinabung pandang-pandangan persis ketika Roga memutar kepala menatap entah apa di luar sana. Dia juga nggak kenal mamanya! Kalimat itu memantul-mantul di rongga mulut Tula dan coba dia sampaikan pada Sinabung melalui matanya. Sinabung mendelik dan nyengir.
"Ya, ampuuun!" kata Sinabung hanya dengan gerakan mulut.
Mereka terkesiap ketika menyadari Roga sedang memandang keduanya. Tatapan mata curiga dan setajam pedang itu memaksa Tula memikirkan sesuatu untuk dikatakan. Pertama yang terlintas adalah 'apa kabar?' Tapi, itu ide gila. Itu kebiasaan basa-basi yang hanya dilakukan manusia purba nusantara. Sudah jelas, dia dan semua warga Kota 65 juga tahu Roga baru saja lepas dari maut beberapa waktu yang lalu. Masih tanya 'apa kabar' lagi?
"Aku dulu sering ke sini dan Abang suka kasih cokelat ke aku." Tula memaksakan senyum.
Dia ingat pesan Nyonya Gefria tadi. Ceritakan apa saja.... Semoga ingatannya kembali....
"Maaf, aku tidak ingat pernah melakukan itu padamu!" sambarnya cepat.
Tula menelan ludah. Semoga cairan saliva itu bisa masuk dan membasuh ke hatinya yang retak. Namun, tentu saja tidak bisa. Setidaknya, gumpalan sedih di kerongkongannya sukses terdorong ke perut. Air matanya tidak menetes. Itu sudah cukup lumayan.
"Kalau tak ada yang terlalu penting, silakan kalian keluar!!!" Kalimat itu sudah menyerupai bentakan. Sebenarnya, lebih parah, itu kalimat pengusiran.
Posisi duduk Roga yang tadinya menyamping, kini malah sepenuhnya membelakangi Tula dan Sinabung. Sikapnya itu benar-benar sikap orang yang menutup diri sangat rapat.
Tula mencelos. Hati yang tadi hanya retak, kini hancur.
"Yuk," bisiknya pada Sinabung dan mengangguk.
Dia sudah hampir menangis. Dia benar-benar tak tahan lagi dianggap sangat asing oleh Roga. Dia belum siap menerima kenyataan ini. Rasanya mirip ketika mendengar kabar kematian Bang Roga tempo hari. Tapi, kok, lebih sakit!
Sinabung berdiri, "Oke, Bang. Besok kami ke sin...."
"Nggak perlu!" potongnya cepat dan penuh amarah.
Mulut Sinabung cepat mengatup, sampai-sampai bibirnya dia lipat ke dalam. Dia takut salah bicara lagi. Akhirnya tanpa kata apa-apa lagi, keduanya keluar dari kamar. Seiring pintu yang menutup di belakangnya, air mata Tula menetes.
"Kenapa kau, Tula?"
"Nggak apa-apa!" Cepat-cepat dia hapus air mata itu dengan handshock-nya.
"Jangan cengeng, Tulaaa," kata Sinabung sambil menepuk pundak sahabatnya itu. "Kita udah dewasa."
Sinabung segera berlari menuruni tangga. Sementara, Tula menarik napas sangat dalam, memandang pintu kamar Roga, sebelum ikut berlari menuruni tangga rumah keluarga Embara.
KAMU SEDANG MEMBACA
BULAN TULA
Science FictionRoga Embara, kembali persis setelah doa bersama atas kematiannya diselenggarakan di alun-alun Kota 65, Nusantara Barat bagian utara di Underworld. Dia ditemukan prajurit militer penjaga gerbang utama dalam kondisi sangat lemah. Sepanjang sejarah Kot...