KABAR KEMATIAN ROGA

174 32 5
                                    

"AWAK..., awak dengar dari Bibi Malem, dulu Mama sering mengantarkan roti mendele untuk Papa ke atas sini."

Bulan Tula mengatakannya dengan sedih. Tapi, dia kurang tahu juga sedih yang semacam apa. Karena, dia tidak begitu mengenal Lika Mayang, ibunya. Hanya ada sekelebatan memori, tapi tidak begitu jelas. Itu karena dia masih lima tahun saat Lika tidak pernah kembali dari tugasnya di Tanah Bebas. Dia hanya mengenal ibunya dari koleksi-koleksi penemuan benda kuno di ruang kerja bawah. Sebagian memang tidak diserahkan kepada kota untuk penghormatan kepada Lika atas jasanya pada Kota 65.

Ibunya seorang arkeolog andalan kota ini. Banyak penemuannya menjadi sumbangan besar pembangunan kota. Ibunya ditugaskan di bagian penggalian temuan literasi. Jadi yang mengisi ruangan kerja ibunya saat ini kebanyakan buku-buku dan alat-alat kerja literasi dari tahun 2000an, dari era pra-apocalyptic.

Persis seperti tugas utama para arkeolog itu, Tula mengenal Lika hanya dari cerita orang-orang, benda peninggalan, foto, dan juga imajinasinya sendiri. Kemesraan dengan imajinasi dirinya sendiri tentang wanita cerdas itu, membuat Tula ingin sepertinya, menjadi arkeolog literasi. Apalagi, sumpah, betapa dia ingin tahu seperti apa Tanah Bebas itu. Bagaimana rasa angin? Bagaimana rupa langit asli? Bagaimana bentuk bulan dan bintang di malam hari? Memang, dia sudah pernah melihat dari hologram di perpustakaan kota. Tapi dia ingin menatap langsung!

"Hmmm...." Tuan Para mendehem. "Tidak, Tula. Tidak! Aku tidak mau dua kali kehilangan orang yang kucintai."

Bulan Tula menyurutkan senyum ramahnya. Kalau saja tidak segan, dia ingin membanting mangkuk roti papanya. Yang akhirnya dilakukan, hanya menggenggam benda cekung itu dengan keras.

"Papa ingat, kan? Hari ini, hari di mana kematian Mama diumumkan di balai kota."

Tula meletakkan mangkuk di meja. Memasukkan kedua tangan kurusnya ke kantung mantel, dia berjalan dan duduk di kursi di sebelah papanya. Dia melirik panel pengaktifan bintang dan bulan. Kedua panel ini jarang digunakan, kecuali jika ada perayaan khusus di kota. Tapi lain hal ketika Tula masih kecil. Di setiap malam peringatan kematian Lika, Tuan Para diberikan kehormatan dari kota untuk bisa menyalakan itu khusus untuk membuat dirinya senang.

Gadis berambut asli ungu gelap itu menghela napas. Sudah tiga tahun Tuan Para tidak melakukannya lagi. Tidak ada peringatan apa-apa di hari ini. Bisa jadi karena laki-laki itu menganggap putrinya ini sudah besar. Jadi mereka sudah bisa berdoa masing-masing untuk Lika tanpa harus ada kegiatan bersama-sama.

"Kota sedang menghemat cadangan listrik. Tidak ada bulan dan bintang, kecuali untuk hari ulang tahun kota."

Seolah tahu yang dipikirkan Tula, papanya menjawab ketus. Dia berdiri menghampiri roti rendamnya. Dia duduk di depan meja itu dan mulai makan. Mungkin dia berpikir, sudah diantar ke sini. Ya, makan sajalah.

Bulan mengusap rambutnya perlahan dari depan ke belakang. Dia mendengkus.

"Bukan itu, Pa. Banyak cita-cita Mama yang belum selesai. Aku ingin menerus...."

Kling! Bunyi pesan masuk. 'Berita Duka', sinar merah berupa tulisan itu memantul ke kaca jendela di hadapan Tula. Tuan Para langsung berdiri.

"Buka, Tula!" perintahnya dan berjalan mendekat.

Gadis itu seketika berdiri dan memencet tombol Dengarkan Pesan.

"Selamat pagi, warga Kota 65." Suara robot perempuan yang dipekerjakan balai kota bergema di ruang kerja Tuan Para.

"Kami Pemerintahan Kota 65 dengan kesedihan mendalam, memberitahukan kepada seluruh warga, bahwa telah gugur di medan tugas, dua arkeolog junior terbaik kita, Roga Embara dan Haykal Laksmana."

Tula membuka mulutnya tak percaya. Dia tidak terlalu mengenal Haykal. Namun, Bang Rogaaa.... Pemuda cerdas dan periang itu. Cowok tampan yang selalu memberikan cokelat—tentu saja cokelat rekayasa hasil karya para foodist—jika dia berbelanja ke toko bahan makanan Nyonya Gefria, ibunya Bang Roga.

"Nah, untuk kau. Gemukkan badanmu kalau mau jadi arkeolog, di Tanah Bebas angin sangat kencang. Yang kayak kau ini...," dia mengangkat tangannya ke udara dan melambai, "wushhh, langsung terbang. Hahaha!"

Tawa renyah Bang Roga di masa lalu itu membaur dengan suara announcer kota yang beberapa detik tadi luput dari pendengaran Tula.

"Doa bersama untuk kedua almarhum, akan diadakan di alun-alun kota pukul sepuluh nanti. Terima kasih."

Entah bagaimana, Tuan Para sudah ada di dekat pintu dan memakai mantelnya.

"Papa mau ke rumah Tuan Embara sekarang. Kau ikut?"

Bulan Tula berdiri, menyeka air mata yang sudah meleleh di pipi, dan mengikuti papanya dalam diam.

BULAN TULATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang