KETAHUAN

37 12 5
                                    

KOTA 65 diliputi kegelapan seperti malam tanpa bintang. Satu rumah, dua rumah, semua... trak, trak, trak! Masing-masing menyalakan lampu mengusir gelap di pagi ini. Pasti semua bingung dengan apa yang terjadi.

Pendar lembut cahaya lampu dari rumah-rumah warga yang menyala, merupakan penerangan utama sekarang. Di telinga Tula, udara seolah mendesing ribut, seakan berteriak-teriak menyalahkannya.

Bunyi kelontang otoped Sinabung, menggantikan teriakan angin. Entah kenapa itu malah membuat Tula sedikit lega. Suara udara horor 'kali baginya.

"Bung..., maafkan aku," katanya lirih.

"Keluar kau dari situ." Perintah Sinabung dituruti Tula tanpa banyak kilah.

Dia membuka pintu. Di depan pintu kereta hanya ada udara yang mengambang. Karena dia berhenti di tengah-tengah, Sinabung melayangkan otoped mendekat.

"Naik!"

Perintah berikutnya membuat Tula segera mencecahkan kaki di lempengan belakang otoped. Benda itu bergoyang sedikit, Tula memegang bahu pemuda itu. Dengan kesal Sinabung meluncur cepat ke arah River Street.

"Jangan nangis!" pekik Sinabung yakin bahkan tanpa mengecek benar tidak Tula hendak menangis.

Sinabung memang benar. Mendengar itu, membuat air mata Tula yang awalnya mulai merebak, sekarang jadi takut untuk merembes keluar. Kedua tangannya yang beku hanya menggenggam bahu Sinabung lebih erat.

***

Sinabung membawa Tula ke tempat persembunyian mereka di sisi sungai. Tempat itu sudah sangat kotor. Dulu mereka sering mendekam di sini kalau salah satunya berbuat kesalahan. Siapa pun dari atas lereng ini tak 'kan bisa melihat mereka.

"Kau membuatku kembali ke zaman kegelapan kita dulu," kenang Sinabung sambil menyandarkan otopednya di sisi dalam ceruk.

Dulunya ini merupakan tempat para petani beristirahat ketika mencuci hasil panen mereka. Sekarang, lahan pertanian ada di sisi lain sungai ini.

Tula duduk memeluk lututnya di dalam ceruk. Dia tak mau menangis. Nanti, Sinabung semakin murka pula.

"Apa, sih, maumu?" Sinabung menyusul duduk di samping gadis itu.

Tula tak menjawab. Dia hanya memandang rerumputan liar di seberang sungai—bekas lahan pertanian yang ditinggalkan.

"Ya, sudah, kalau kau nggak mau jawab. Nggak apa-apa."

Sinabung menghela napas dan melanjutkan, "Karena kita sekarang sudah dewasa, kita nggak akan berlama-lama di sini. Aku membawamu ke sini, supaya kau bisa berpikir jernih dan tenang dulu. Setelah itu, kau akan kuantar ke Balai Kota atau ke depan papamu untuk mempertanggungjawabkan semuanya."

Tula menoleh dan memandang dengan tatapan 'kau jangan bercanda!'.

Memahami tatapan itu, Sinabung mengangkat bahu, "Itu beda anak-anak dan orang dewasa. Coba kau pahami, ya. Orang dewasa menghadapi kenyataan, bukan lari dari kenyataan!"

Sekarang, air mata Tula tak bisa lagi menahan dirinya untuk berada di mata saja.

"Jangan menangis! Berpikir!" Suara Sinabung mulai meninggi.

"Kalau nggak mau liat aku nangis, pergi! Pergi aja kau!" Gantian Tula yang menyalak lebih keras.

Dia benci pada Sinabung yang tak mengerti perasaannya. Menangis bukan berarti tak berpikir. Teriakan itu membuat Sinabung diam. Itu artinya Tula sudah bisa leluasa menangis. Dia menanam kepalanya di antara lutut. Tersedu-sedu, dia menumpahkan semua perasaannya. Tak lama, dia merasakan bahunya disentuh.

"Yaaa, udah... nangislah. Nangislah dulu.... Maaf, ya." Suara Sinabung terdengar melembut.

Setelah dua kali menepuk bahu Tula, dia menarik tangannya.

Kresek..., kresek. Langkah kaki membuat keduanya terdiam dan menoleh ke kiri—sumber suara. Sinabung merentangkan sebelah tangannya di depan Tula. Isyarat agar Tula tetap di tempat. Dia beranjak dan mengintip dari sisi ceruk. Dia menoleh lagi kepada Tula.

"Bang Rogaaa...," bisiknya.

"Apa?"

Tula menyeka air matanya dan ikut melongokkan kepala di samping Sinabung. Keduanya refleks menarik badan masuk ke ceruk ketika Roga tiba-tiba menoleh ke arah mereka. Tidak ada celah untuk berlari. Kalau keluar dari ceruk, tentu mereka langsung terlihat.

Dada Tula seperti hendak meledak ketika otaknya mengharuskan dia menahan napas. Suara langkah itu kian mendekat. Sinabung pun pasti sangat cemas. Dia berkeringat.

"Aku tahu kalian di sini!"

Kalimat itu berjaya membuat jantung Tula dan Sinabung keriput. Tubuh Roga menghadang ceruk dan berwarna hitam dalam kegelapan. Mereka merasa seolah menyambut kedatangan malaikat pencabut nyawa.

BULAN TULATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang