"IKUT aku!"
Permintaan Bang Roga itu tak lantas dituruti. Sinabung dan Tula saling pandang. Apa maksudnya? Ikut ke mana? Kenapa mereka harus menuruti Roga? Bukankah Roga tidak ingat siapa mereka?
"Ayo..., ada yang ingin kutunjukkan."
Laki-laki bermantel hijau gelap itu melangkah mendekat ke tepi sungai. Rerumputan yang dilewati sepatu bootnya rebah, hingga menciptakan lajur baru.
Sinabung dan Tula masih duduk di tempat. Tidak ada sama sekali gairah untuk mengikuti. Pria di depan mereka ini, sekarang adalah orang asing. Tidak perlu dipercaya apalagi diikuti.
Dari sini, Tula melihat cowok yang dulunya ramah itu sudah sampai di tepi sungai. Dia berdiri dengan kaki dibuka selebar bahu. Tangannya dia majukan ke arah sungai. Dan pluk, pluk, pluk! Satu per satu lipatan kepingan besi terbuka, menjelujuri sungai hingga ke seberang. Entah dari mana kepingan itu berasal. Apakah keluar dari tangannya? Bukan. Ada benda bercahaya di tangannya. Sewarna dengan lampu biru keungan di masing-masing lipatan besi. Cahaya untuk memandu agar tidak salah pijakan.
Sinabung cergas berdiri. Tula juga. Keduanya melongo menyaksikan benda yang sebelumnya tidak pernah mereka lihat di kota ini. Itu bukan teknologi dari kota ini. Benda bersinar di tangan Roga tadi sudah masuk ke kantung bagian dalam mantelnya.
"Bahayyya...," gumam Sinabung sambil terus melongo menatap jembatan lipat yang mengambang persis di atas air itu.
Sedetik kemudian, Sinabung menarik otopednya. Instingnya mengatakan agar cepat pergi menjauhi Roga. Dia aneh. Sangat aneh. Tula juga sepakat. Tanpa kata, dia langsung naik ke otoped yang mesinnya mulai dihidupkan. Namun...
Zhap!!! Entah bagaimana Bang Roga sudah ada di depan mereka. Kenapa bisa secepat itu pindah ke sini? Kedua remaja itu yakin, ini pasti ada yang tidak beres. Pasti.
"Kalian mau ke mana? Tak sadarkah kalian, satu kota sekarang sedang mencari kalian?" tanyanya dengan pandangan mengintimidasi.
Sinabung dan Tula mengunci mulut. Tula memberanikan diri memandang wajah Roga yang sudah benar-benar kehilangan aura keramahannya. Saat Roga mengalihkan pandang ke arahnya, Tula menunduk.
"Sesuatu yang mau kutunjukkan ini sangat penting. Tentang Tanah Bebas," lanjutnya lagi, berbisik.
Itu tawaran menggiurkan. Apalagi bagi Tula. Namun, cara Roga ini sangat mencurigakan. Tula dan Sinabung bergeming. Roga menarik napas tak sabar. Dia mengambil sesuatu di dalam mantelnya. Ketika tangan itu keluar, Tula terperanjat. Itu senjata api. Lagi-lagi benda ini bukan seperti senjata api milik militer atau officer Kota 65.
Tula meremas kaus Sinabung. Dia takut. Ada bulatan kecil berwarna merah memantul di badan mereka bergantian, seiring dengan berpindahnya bidikan Roga. Teknologi secanggih ini tak ada di Kota 65.
Clrrrttt!!! Laki-laki itu mendemontrasikan senjatanya. Dia menembak ke arah tanah. Serbuk tanah bermuncratan, menyisakan api mendesis. Detik berikutnya, tembakan itu telah menciptakan lubang berwarna hitam berasap.
Tula mengernyit. Dia tak mau lubang semacam itu tercipta pula di kepalanya.
"Jalan!" perintah Roga.
Bagai terkena sihir, kini kedua remaja itu meninggalkan otoped dan berjalan patuh menuju jembatan temporal yang membelah sungai. Tula terus menerus meremas pinggang Sinabung dan tetap berjalan di belakangnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
BULAN TULA
Science FictionRoga Embara, kembali persis setelah doa bersama atas kematiannya diselenggarakan di alun-alun Kota 65, Nusantara Barat bagian utara di Underworld. Dia ditemukan prajurit militer penjaga gerbang utama dalam kondisi sangat lemah. Sepanjang sejarah Kot...