LORONG sempit berakhir di ruangan membulat yang cukup luas. Ada tempat tidur di sisi kanan yang bersisian dengan meja kerja berisi banyak kertas dan buku-buku. Di sisi kiri, bertumpuk-tumpuk hingga hampir mencapai langit-langit, rongsokan besi-besi berbagai bentuk.
Rumah bawah tanah, di sebuah kota di bawah tanah. Tula memandangi sekeliling dengan perasaan takjub. Dia tak pernah mengira Frederek melakukan ini. Setahu dia, pemerintah telah membangunkan rumah di atas pohon untuk penjaga hutan kota.
Apa yang membuat Frederek tidak mau tinggal di sana saja dan harus repot-repot membuat rumah bawah tanah ini? Apakah kesedihannya akan kehilangan adik—satu-satunya keluarga tersisa—membuatnya ingin menguburkan diri jauh lebih dalam? Dia memang mengasingkan diri dari sosial masyarakat kota. Ternyata di dalam sini, di mana warga kota tidak ada yang sampai ke sini, dia tetap ingin bersembunyi lebih jauh lagi.
Tula, Sinabung, dan Mambang duduk di sebuah sofa belel di tengah-tengah ruangan. Roga baru tiba dari menarik kursi yang tadinya berada di depan meja kerja. Dia duduk di sana dan menghela napas panjang. Frederek barusan ditelan lorong gelap di bagian dalam yang entah menuju ruangan mana lagi.
"Ya...," mulai Roga dengan agak kikuk, "...aku minta maaf."
Tula melihat Mambang menatap tajam padanya. Sinabung apalagi. Pemuda pemarah itu bahkan berkerut jidatnya dan tangannya mengepal.
"Katakan saja ada apa ini?" semburnya tak sabar.
"Minum teh buatanku dululah." Tiba-tiba Frederek muncul dengan lima gelas yang mengepulkan asap.
Aroma seperti asap otoped Sinabung tiba-tiba memenuhi ruangan itu. Ketika Frederek meletakkan nampan besi di atas meja di hadapan semuanya, Sinabung menjengit.
"Jangan bilang ini seduhan teh daun minyak," ujarnya bergidik.
"Memang iya... silakan diminum. Bagus untuk kesehatan, hanya memang baunya saja yang sudah telanjur diasosiasikan dengan minyak mesin di kota ini," jelas Frederek dan menarik tangan dari nampan. "Ambil sendiri untuk masing-masing, ya."
"Nggak! Aku nggak mau minum itu!" tegas Sinabung.
Tula menyikut anak itu. Matanya mendelik.
"Apa?" tanya Sinabung seolah tak mengerti pandangan 'jangan nggak sopan begitu' dari Tula.
Detik kemudian, Tula menjulurkan tangannya ke meja. Dia tahu daun minyak juga bisa dijadikan obat. Tangannya hendak menangkap satu cangkir sebelum...
"Jangan!" Sinabung mencengkeram pergelangan tangan Tula. "Bisa jadi ini dikasih racun! Kau nggak ingat lagi rupanya, ha? Kita dibawa ke sini di bawah todongan senjata!!!"
Alih-alih menatap Sinabung, Tula melempar pandangan ke Frederek. Dia ingin segera melihat reaksi si Tuan Rumah, ketika minuman yang dihidangkannya dituduhkan seperti itu. Tapi Frederek terlihat santai. Dia menarik gelondongan kayu yang telah beralih fungsi menjadi tempat duduk. Gelondongan berdiamater besar itu, jadi terlihat sangat imut ketika dia duduk di atasnya. Tidak marahnya lelaki raksasa itu sebenarnya menambah kadar rasa segan Tula.
"Aku yakin, teh daun minyak racikan Abangnda Frederek itu pasti enak," ujar Mambang seperti biasanya, tenang dan penuh aura positif. "Tapi orangtua awak pernah bilang, bertemanlah dengan bertukar nama dan cerita terlebih dahulu, baru kau boleh cicipi suguhan mereka. Sehingga kita tidak tersesat pada penilaian semu. Yakni menilai dari apa yang disuguhkan, bukan hati mereka."
Tula merasakan dirinya baru saja mengalami jadi patung yang memandang Mambang selama beberapa detik. Dia mengedip dan sedikit menggerakkan kepalanya untuk kembali dari berayun-ayun di awan karisma Mambang. Itu yang membuatnya tidak suka berlama-lama berada di dekat laki-laki itu. Karena dia sering mendapati dirinya terpesona tanpa bisa dia ungkapkan kepada siapa pun.
KAMU SEDANG MEMBACA
BULAN TULA
Science FictionRoga Embara, kembali persis setelah doa bersama atas kematiannya diselenggarakan di alun-alun Kota 65, Nusantara Barat bagian utara di Underworld. Dia ditemukan prajurit militer penjaga gerbang utama dalam kondisi sangat lemah. Sepanjang sejarah Kot...