KE PUSKOTA LAGI

43 11 20
                                    


DI kotak sterilisasi, pakaian Tula tersusun dengan posisi sedemikian rupa, memenuhi salah satu sisi. Kaus tebal, mantel, celana, dan pakaian dalam itu baru selesai distrelisasi. Seolah sedang menatap Tula, mereka menanti untuk dipakai kembali oleh tuannya. 

Tula sendiri juga merasa lebih segar setelah uap dari tumbuh-tumbuhan menerpa seluruh tubuhnya. Uap tumbuhan beraroma wangi dan mengandung disinfektan, atiseptik, dan vitamin. Uap itu keluar dari lubang-lubang kecil yang tersebar di seluruh sisi kotak seukuran lemari. 

Tula mengambil pakaian dalam dan mengenakannya cepat-cepat. Saat memakai kausnya, dia merasa kaus itu sudah agak sempit.

"Ya, ampuuun! Jangan bilang badanku mengembang lagi tadi malam." Tula menggerutu.

Dia mengenang, sepertinya baru dua bulan yang lalu dia ke Pusat Urusan Sandang Kota 65. Di sini, pakaian tidak sembarang dibuat dan dibeli. Mereka memikirkan ending dari semua sandang yang tak terpakai: sampah. Limbah yang banyak, tidak baik untuk kota kecil itu. 

Warga hanya boleh punya beberapa helai pakaian. Pakaian yang kesempitan, harus dibawa ke PUSKota 65 untuk ditukarkan dengan yang lebih pas. Kualitas kain Kota 65 sangat bagus. Tidak bisa robek. Yang bisa menghancurkannya hanya panas di atas 300 derajat celsius.

Tula sudah rapi dan duduk menikmati roti mendele. Tuan Para tampak tergesa-gesa turun di tangga melingkar. Dia sudah mengenakan mantelnya, pertanda akan keluar rumah.

Pasti mau ke lab kota. Dalam hatinya Tula kecewa karena proyek Roboarkeolog masih berjalan. Padahal tadi malam waktu papanya cerita mereka kekurangan material, dia sempat senang. Memang, baru sebulan berlalu sejak kepulangan Bang Roga. Bahkan kabarnya Bang Roga belum bisa ditanyai apa-apa. Belum ada satu pun alasan kuat yang mengharuskan proyek itu berhenti.

Tuan Para baru saja menginjak lantai satu rumah, ketika pintu depan terbuka. Keduanya menoleh ke arah pintu. Wajah Mal muncul dari sana.

"Selamat pagi," sapanya hangat.

"Pagi." Hanya Tuan Para yang menjawab.

"Hari ini...."

"Tula mau ke PUSKota, Pa." Tula langsung menyambar perkataan papanya.

Dia yakin papanya itu akan mengatakan bahwa dia harus memperhatikan Bang Mal mengendalikan langit-langit seperti hari-hari sebelumnya.

"Ha? Ke sana lagi, Tula?" Tuan Para memandang anak gadisnya heran.

"Baju Tula udah sempit, Pa."

"Ya, ampun." Tuan Para hanya meletakkan telapak tangan di kepala Tula. "Iya, sih. Waktu seumuran kau, Papa lebih sering lagi ke PUSKota. Selalu saja bergantian yang kesempitan."

"Seumuran aku nanti, baru dapat setelan pakaian permanen, Tula. Soalnya udah berhenti tumbuh." Bang Mal ikut memberikan komentar.

Dia melewati Tuan Para menuju tangga melingkar sambil sedikit membungkukkan badan. Cara lewat di depan orang yang lebih tua untuk menghormati.

"Sarapan dulu kau, Mal," tawar Tuan Para pada Mal.

"Terima kasih, Tuan. Awak udah makan di rumah."

Tuan Para mengangguk. Mal langsung pemisi ke atas. Duduk di sebelah Tula, Tuan Para segera menelan semua roti mendelenya yang sudah empuk terendam kuah jamur.

"Pa, apa sampai sekarang nggak ada niat menangguhkan keputusan menutup pendidikan arkeolog?"

Tuan Para menatap anaknya. Tatapan seperti mengatakan betapa dia kagum. Anaknya tidak pernah bosan menanyakan itu.

"Ngotot, persis kek mamamu."

"Iyalah.... Makanya Tula lebih cocok meneruskan pekerjaan Mama daripada...."

Gadis itu berhenti. Dia baru sadar kalau itu pasti bisa melukai perasaan ayahnya. Padahal memang, sudah berulang kali Tula menyepelekan tugas papanya itu.

"Tapi, sayang sekali, nakku. Pekerjaan seperti mamamu itu sudah nggak ada lagi di kota ini. Tapi..., Papa pikir kau tetap bisa bekerja di Pusat Litbang. Roboarkeolog itu hanya ditugaskan ke Tanah Bebas, tentu di sini perlu tidak lanjut, kan? Sebenarnya, sih, kerjaannya cuma ngawasi. Karena penelitian tindak lanjut di sini nanti, benda-benda itu yang melakukannya. Kalau cuman mengawasi, sama aja kayak kau ngawasi langit-langit kota. Ya, kan?"

Tula mencebik. Dia, kan, pengennya ke Tanah Bebas.

"Gimana kalau Tula daftar jadi militer!"

"Ih! Ada-ada aja kau itu."

BULAN TULATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang