Namaku Ayesha, lengkapnya Ayesha Sugara. Biasa dipanggil Ay atau Yesha. Panggilan Ay biasanya kudapat dari keluarga. Usiaku sekarang 20 tahun. Aku telah menamatkan pendidikan terakhirku di Sekolah Menengah Kejuruan 2 tahun lalu, dan sekarang statusku adalah pencari kerja.
Aku membolak balik lembaran surat kabar yang baru saja kupinjam dari tetanggaku. Mencari info lowongan pekerjaan. Rutinitas ini telah menjadi kebiasaanku setiap hari sejak tidak berstatus sebagai pelajar lagi. Keringatku mulai bercucuran, hawa panas menyergap ruang kontrakan yang menjadi tempat berlindungku sekeluarga selama ini. Sebuah kipas angin tua yang terletak di sudut ruangan 3 x 4 meter itu telah mati lagi. Butuh pukulan beberapa kali, sehingga baru berfungsi lagi, aku sudah hafal lagaknya.
“Ay, Mama pergi dulu ya.” Seorang wanita paruh baya bertubuh tinggi besar baru saja keluar dari dalam kamar. Satu-satunya kamar yang kami miliki. Dia adalah mamaku, di telapak kakinya ada surgaku. Aku mengamati dandananya dari ubun-ubun sampai ujung kaki.
“Mama mau kemana?” Mulutku masih melongo saat melihat dandanan mama yang cetar membahana. Dengan tubuh berbalut baju gamis berbahan maxmara bermotif bunga-bunga dan hijab syar’i warna senada, dia terlihat begitu anggun. Belum lagi sebuah tas model kekinian ditangan kanannya, yang bisa kupastikan adalah barang KW. Mama terlihat seperti seorang sosialita atau ibu-ibu pejabat. Satu pertanyaanku, dari mana mama dapat uang untuk membeli semua yang menempel di tubuhnya itu? Sudah jelas hidup kami sangat susah.
“Mama mau arisan,” jawabnya. Sejak kapan mama ada kegiatan seperti itu? Kalaupun bergabung dengan grup arisan di sekitar kontrakan kami, rasanya sangat tidak pantas dandanan mama seperti itu. Karena arisannya cuma seribu rupiah perhari.
“Kok aku tidak pernah tahu, mama punya grup arisan?” selidikku. Jangan-jangan ada sesuatu yang disembunyikan mama, secara diakan janda.
“Mama mau nge-date?” cecarku lagi, melihat mama tidak menjawab pertanyaanku.
“Ngedat-ngedet, apaan sih Ay. Udah ah, Mama berangkat takutnya terlambat,” pamitnya sambil berlenggok anggun meninggalkanku. Ada apa dengan mamaku?
Bagaimana kalau benar sekarang mama sedang dekat dengan seorang laki-laki. Bukannya tidak rela mama menikah lagi, tetapi untuk saat ini aku belum siap punya bapak tiri. Apalagi membaca beberapa berita belakangan ini, bapak tiri sama saja kejamnya dengan ibu tiri. Apalagi kalau sang istri memiliki anak perawan, kacau sudah. Aku memukul lantai beberapa kali. ‘Amit-amit, jangan sampai punya bapak tiri.’
Mama dan papa memang telah lama berpisah. Pernikahan mereka hanya bertahan 15 tahun dan telah dikarunia 3 orang anak. Selama rentang waktu 15 tahun , pernikahan mereka selalu diwarnai perselisihan. Papaku seorang sopir truk antar pulau. Menurutku sikapnya jauh dari sosok seorang suami atau ayah idaman. Dia seorang pejudi. Sejak kecil selama yang kuingat, mereka beberapa kali bercerai, namun rujuk lagi. Disetiap kali rujuk mamaku hamil lagi. Hingga lahirlah dua orang adikku. ‘Huft, katanya benci tapi nambah dedek lagi,’ pikirku. Orang tuaku memang lucu.
Tetapi setelah perpisahan yang terakhir, papaku tidak pernah muncul lagi. Katanya dia telah pergi ke Sumatera dan menetap di sana. Aku tidak tahu apakah papa sudah memiliki keluarga baru lagi, yang jelas setelah itu sampai saat ini aku kehilangan kontak dengan papa. Seburuk apapun laki-laki itu, tetap saja dia adalah ayahku, orang pertama yang berhak menjadi waliku saat menikah nanti. Aku tidak bisa lepas darinya, karena dinama belakangku saja sudah terpatri namanya, Sugara.
Aku kembali fokus pada koran pijaman yang sedari tadi kubolak balik. Mencari pekerjaan yang cocok untukku. Selama ini aku bukannya menganggur saja, mengunggu belas kasihan mama. Aku wanita tangguh dengan segudang pekerjaan. Pekerjaan apa saja, asalkan halal. Pagi-pagi aku mengantar susu ke sekeliling komplek, siang hari aku menjelma menjadi driver GoFood dan diwaktu-waktu tertentu aku bekerja sebagai asisten rumah tangga.