Aku bangun sedikit terlambat dari biasanya. Mungkin karena terlalu lelap saat tertidur kembali dini hari tadi. Bunyi alarm yang biasa berbunyi pun tidak terdengar.
“Aye ... aye,” sayup kudengar seseorang memanggilku.
Aku membuka mataku perlahan.
“Kamu bisa terlambat sholat Shubuhnya. Bangunlah!” Suara Aditya.
Aku meraih gawaiku dan melihat angka yang tertera di layar. Jam 6.00? Aku segera bangkit dan berlari ke kamar mandi. Aditya sudah siap berangkat ke kantor. Mengapa dia baru membangunkanku sekarang?
Aku segera menunaikan sholat Shubuh, yang rasanya sudah sangat terlambat. Aditya duduk mengamatiku dari sofa. Saat salam, wajahku langsung mengangkap wajahnya. Dia mengingatkanku tentang sholat, sedangkan dia sendiri tidak sholat.
“Bagaimana kakimu?” tanyanya.
“Alhamdulillah sudah baikan. Terima kasih,” ucapku.
Dia terlihat sangat rapi pagi ini. Dengan jas dan dasi berwarna ocean blue serta kemeja putih dia terlihat begitu gagah. Bisanya dia juga selalu rapi dan gagah. Tetapi tidak kusadari.
“Ada apa?” tanyanya saat aku terus terpana mengamatinya.
“Ti-tidak ada,” ucapku gugup dan segera menjauh dari hadapannya. Aku hanya sedikit terpesona karena dia mulai baik. Aku tidak mungkin menyukainya.
♫♫♫♫♫
Pagi ini hal pertama yang harus kulakukan setelah Pak Iswaya dan Aditya berangkat bekerja adalah bicara empat mata dengan Bu Diani, soal ancaman Kartika kemarin.
“Kamu serius?” Bola mata Bu Diani langsung membesar saat mendengar apa yang kukatakan.
“Perempuan laknat, ini tidak bisa dibiarkan,” umpat Bu Diani berapi-api.
“Bagimana kalau hari ini dia memberitahu Pak Iswaya, Bu.” Akupun ikut cemas. Kala semua sudah berjalan sesuai rencana ada saja yang mengacaukan.
“Ay.” Bu Diani menatapku seksama. Dia memegang jemariku tanganku.
“Tidak adakah sedikit rasa diantara kalian, setelah sekian lama bersama?” tanya Bu Diani dan menatap dalam kedua bola mataku.
“Ibu masih berharap kamu dan Aditya menjadi pasangan sesungguhnya. Menantu Ibu sebenarnya Ay,” tambah Bu Diani. Aku hanya terdiam. Bu Diani juga sama. Larut dalam pikiran kami masing-masing.
“Maafkan Ibu Ay. Ibu terlalu tamak,” ucapnya kemudian.
“Maafkan Ibu,” ulangnya lagi dan meninggalkanku yang masih terduduk diam di meja makan.
Menantu sesungguhnya? Sedikit rasa?
“Ay, tidak usah dipikirkan perkataan Ibu tadi.” Bu Diani keluar dari kamar. Dia sepertinya akan pergi ke suatu tempat.
“Ibu mau kemana?” tanyaku menyusulnya ke arah pintu.
“Ibu akan buat perhitungan dengan Kartika.” Bu Diani terlihat semangat sekali.
“Tapi Bu ...,” tahanku. Aku takut terjadi apa-apa dengan Bu Diani.
“Kamu tidak usah cemas. Kartika itu ....” Bu Diani menunjukkan ujung ruas jari kelingkingnya. Menunjukkan bahwa menghadapi Kartika itu urusan yang kecil. Aku melepas kepergian Bu Diani sambil terus berdoa semoga Bu Diani baik-baik saja.
♫♫♫♫♫
Hari ini jadwal kuliahku tidak terlalu padat sehingga aku bisa mengunjungi mama dan membawakan beberapa makanan dan pakaian.