Pintu kamar kembali terbuka, ternyata Bu Diani. Aditya langsung menyembunyikan kertas yang dipegangnya.
“Kalian sedang apa?” tanyanya heran dengan senyum tak jelas.
“Apa Mama meng-gang-gu?” tanyanya lagi ketika kami berdua tidak menjawab apa-apa. Dia langsung berangsur-angsur menutup pintu, lagi-lagi dengan senyuman. Bu Diani pasti salah paham lagi. Dia memang jagonya salah paham.
“Ti-tidak Bu.” Aku langsung berdiri dan mengejar Bu Diani.
“Mama, apaan sih?” Aditya merasa tidak senang dengan ekspresi bahagia di wajah Bu Diani. Dia langsung nyelonong pergi.
“Dia tidak jahatin kamu kan?” selidik Bu Diani. Aku menggelang.
“Kita pergi ke salon yuk!” ajaknya.
“Mulai sekarang kamu harus rutin lakukan perawatan wajah dan kulit, karena kamu akan menjadi pusat perhatian,” tambahnya lagi.
Haruskah? Aku tidak terbiasa. Tetapi aku tidak bisa mengelak, lalui saja semuanya.
♫♫♫♫♫
Sebentar lagi acara pernikahanku akan dimulai. Rasanya biasa saja, tidak ada debaran-debaran aneh apapun. Mungkin karena ini bukan pernikahan yang sesungguhnya. Kalau pengantin sesungguhnya pasti merasakan kegugupan, bahkan mungkin sudah mereka rasakan sejak beberapa hari sebelumnya.
Aku dihiasi bak putri. Bu Diani memilihkan gaun pengantin cantik dan tentu saja mahal. Hiasan wajahku juga tidak tanggung-tanggung. Aku mulai di make up sejak subuh. Andai saja ini pernikahan sesungguhnya, betapa beruntungnya aku.
Acaranya dilakukan di gedung super mewah. Berhias bunga-bunga asli berwarna putih. Papan ucapan selamat berjejer di sepanjang jalan menuju gedung. Semua dari teman Bu Diani dan rekan bisnis Pak Iswaya. Akupun dijemput dengan mengunakan mobil putih berhiaskan pita merah hati besar. Semuanya adalah sesuatu yang tidak pernah kubayangkan. Menghadari undangan pesta pernikahan seperti ini saja belum pernah seumur hidupku.
“Luar biasa Ay, kamu cantik,” Bu Diani langsung menyambutku di tangga dan membimbing tanganku memasuki gedung. Keluarga besar Bu Diani dan Pak Iswaya juga kompak memakai batik dan kebaya berwarna hijau coral spring. Sebenarnya ada kejanggalan cukup besar dalam acara pernikahan ini, satupun tidak ada yang berasal dari pihak keluargaku. Entah bagaimana Bu Diani menjelaskan hal itu pada keluarga besarnya, sehingga semuanya menanggapi dengan santai ketidakhadiran mama, papa serta keluargaku yang lain.
Aku dituntun untuk duduk di sebuah kursi yang masih bernuansa putih. Disampingku telah duduk Aditya. Saat aku datang sedikitpun dia tidak menoleh. Ekspresinya datar. Pasrah tetapi tidak rela. Sebentar lagi ijab qabul akan dibacakan. Aditya sepertinya memegang secarik kertas kecil, dia mencoba menghafal lafaz qabul. Ternyata dia tidak pasrah-pasrah amat. Masih ada itikad baiknya untuk membuat pernikahan ini lancar. Adalah terlihat usahanya.
Dengan dipandu seorang pembawa acara, proses pertama pun dimulai. Didepan kami telah duduk, petugas KUA yang bertidak sebagai wali nikahku, Pak Iswaya dan Bu Diani serta dua orang saksi. Para tamu yang merupakan kerabat dekat juga mengikuti jalannya acara. Semuanya terlihat asing bagiku. Tidak ada wajah-wajah yang kukenal.
Setelah mendengar ulasan panjang tentang nasehat pernikahan. Kami berdua disuruh sungkem dan meminta restu kepada kedua orang tua. Proses yang seharusnya dilalui dengan mengharu biru itu berjalan hambar. Dan sekarang tibalah saatnya pengucapan akad. Tangan Aditya telah menggenggam tangan
Petugas KUA. Sebentar lagi lafaz yang membuat kami menjadi satu dalam ikatan halal itu akan diucapkan. Aku menghela nafas. Ada kegugupan sedikit kutangkap pada Aditya, tangannya bergetar saat menjabat tangan petugas KUA.