Aku segera melepaskan diri. Dan melihat ke sekitar, untungnya yang fokus pada kejadian langka itu hanya Sassy dan suaminya. Aku memandang ke arah lain dengan pipi memerah. Malu. Aditya pun juga terlihat sama.
“Kalian berdua aneh deh? Sudah menikah sekian lama tetapi masih saja malu-malu. Aaa, sayang kita bisa seperti mereka tidak ya?”
Sassy langsung bermanja-manja dan memeluk suaminya. Aku semakin tidak fokus di keramaian ini. Tubuhku seolah memberikan reaksi yang aneh yang selama ini belum pernah kurasakan.
Setelah bersalaman dengan pasangan pengantinnya dan menikmati hidangan, kami segera menuju pintu keluar. Semuanya kulalui seperti di bawah kesadaran. Sebelum benar-benar sampai ke tangga keluar, aku melihat Bu Diani, Pak Iswaya dan beberapa orang teman mereka. Aditya juga melihat. Dia berhenti sejenak. Mungkin pikirannya sama denganku, ingat pesan Bu Diani yang tadi.
Ujung tangan kirinya mencari-cari tangan kananku yang memang berdiri tepat di sebelahnya. Baru saja ujung jarinya menyentuh ujung jariku, aku serasa tersengat aliran listrik bertegangan tinggi. Aku refleks menjauhkan tanganku darinya.
Ooh, ada apa denganku? Mengapa aku seberdebar ini?
Melihat kehadiran kami, Bu Diani segera menghampiri.
“Temuilah Bapak dan teman-temannya sebelum kalian pulang. Dan bersikaplah romantis satu sama lain seolah kalian ini pasangan yang tak terpisahkan.”
Bu Diani terlihat geram melihat kami.
“Apa masih perlu Ibu ajarkan! Tangan kalian!”
Bu Diani bicara dengan gigi-gigi dikatupkan. Aditya memegang tanganku, aku kembali kaku. Kami berjalan menuju Pak Iswaya dan teman-temanya itu. Pak Iswaya memperkenalkan kami pada teman-temannya itu.
“Cantik ya menantunya!”
“Maaf ya, waktu acara pernikahan dulu kami tidak sempat hadir.”
“Sudah lumayan lama juga ya, pernikahannya. Belum ada tanda-tanda ....”
Ada saja komentar mereka, dan yang paling horor adalah komentar jahat seperti yang terakhir.
“Ooo, belum lama juga kali Jeng,” Bu Diani langsung menimpali.
“Menantuku waktu itu langsung jadi lo. Takutnyakan ada apa-apa.”
Ibu-Ibu dengan konde besar itu masih belum mau mengalah.
“Tidak apa-apa juga kalau tidak langsung dikaruniai momongan. Biar masa-masa romantis berduanya bisa lebih lama.”
Bu Diani masih mencoba memberi pembelaan. Ibu-Ibu berkonde itu hanya tersenyum, sepertinya sih terpaksa. Kalau begini keadaannya, gawat juga. Kalau setiap kali bertemu temannya, Bu Diani atau Pak Iswaya menerima pertanyaan yang sama. Bisa-bisa Bu Diani memaksaku segera memberi mereka cucu.
Setelah ramah-tamah unfaedah itu, kami segera pulang. Aku dan Aditya. Sedangkan Bu Diani dan Pak Iswaya masih betah lama-lama di sana.
“Jangan lupa pindah kamar Ay. Nanti malam Bapak pulang ke rumah,” bisik Bu Diani. Aku mengangguk.
Di dalam mobil aku dam Aditya hanya saling diam, dengan pandangan mata fokus ke depan. Sudut mataku sesekali melirik ke arahnya. Entah mengapa sekarang seolah ada tarikan yang kuat sehingga membuat mataku ingin selalu menatapnya. Namun aku malu.
“Ayesha.”
Dia berguman pelan. Menyebutkan namaku. Meskipun sangat pelan namun aku bisa mendengarnya dengan jelas karena jalanan cukup sunyi. Aku menoleh ke arahnya. Dia mengendarai mobil dengan lambat. Aku menunggunya melanjutkan apa yang ingin dikatakannya.