Aku tercekat. Bulan madu?
“Tapi Pa, aku kan harus segera masuk kantor?” Aditya mencoba membatalkan rencana yang sudah dipersiapkan papanya itu.
“Pekerjaan itu urusan kedua, yang paling penting itu sekarang, kalian nikmati dulu indahnya hari-hari pertama sebagai suami istri. Iya kan Ma?” Pak Iswaya memberi kode genit ke arah Bu Diani.
“Mama kamu saja kalau diajak honeymoon lagi sekarang, pasti semangat,” tambah Pak Iswaya sambil mengerling nakal ke arah Bu Diani. Bu Diani membalasnya dengan tatapan tidak kalah nakal.
“Masak kalian kalah sama kami yang sudah tua-tua ini.” Bu Diani menimpali. Sepertinya tidak ada alasan untuk menolak. Kacau.
“Papa sudah atur semuanya, kalian berdua tinggal berangkat lusa. Lokasinya Papa jamin asyik buat kalian yang baru nikah. Kalau sudah sampai disana Papa yakin kalian akan malas buat balik,” jelas Pak Iswaya.
“Memangnya kemana Pa?” tanya Aditya tidak sabaran.
“Pulo Cinta,” jawab Pak Iswaya.
“Itu kan jauh Pa? Di gorontalo sana,” protes Aditya. ‘Gorontalo? Sulawesi? Sejauh itu?”
“Ya nggak apa-apa. Coba kalian searching di internet, tempatnya cantik. Perjalanan jauh kalian akan terbayar lunas kalau kalian sampai disana.” Pak Iswaya masih berusahan menyakinkan kami.
Melakukan perjalanan sejauh itu? Berdua dengan Aditya? Benar-benar ancaman. Aku harus bagaimana?
Sehabis sarapan, aku kembali ke kamarku. Pak Iswaya telah berangkat ke kantor. Aku ingin bicara serius dengan Bu Diani. Perihal rencana bulan madu. Aku ingin meminta Bu Diani mengatur rencana bagaimana caranya aku tidak usah ikut tetapi Pak Iswaya tidak curiga.
“Kenapa Ay?” Bu Diani menyadari gelagatku. Kuutarakan apa yang kuinginkan.
“Bagaimana caranya Ay? Bapak bisa curiga. Kamu belum pernah berlibur kan? Nikmati momen ini untuk refresing diri kamu pribadi Ay.” ucap Bu Diani.
Liburan, untuk refresing pribadi? Aku memang belum pernah liburan kemana pun. Selama ini kalau pun libur sekolah, aku tetap bekerja membantu mama. Tidak ada dalam kamus hidup kami, kata liburan. Tetapi, kalau liburannya bersama Aditya? Ini sih bukan liburan!
“Tetapi Bu ...,” potongku.
“Kamu cemas Aditya akan berlaku buruk sama kamu?” Bu Diani bisa menebak apa yang kucemaskan. Aku mengangguk.
“Tenang Ay. Ibu kenal Aditya, dia tidak sejahat itu.” Bu Diani mencoba meyakinkanku. Tidak sejahat itu? Sepertinya Bu Diani belum mengenal putranya itu.
“Kamu butuh refresing Ay. Kamu telah menghadapi begitu banyak masalah akhir-akhir ini. Manjakan diri kamu. Soal mama kamu, kamu bisa percayakan sama Ibu,” Bu Diani memegang pundakku dan membelai punggungku lembut. Aku memang butuh liburan, tetapi tidak bersama dengan Aditya.
Sepertinya sangat sulit untuk membatalkan rencana bulan madu ini.
“Baik Bu,” kataku akhirnya. ‘Anggap saja ini tantangan selanjutnya Ay. Semangat!’ Aku menyemangati diriku sendiri.
Sebelum berkemas untuk keberangkatan besok, aku menemui mama di LP. Sudah beberapa hari ini aku tidak menemui mama. Aku sibuk dengan pernikahan dan segala persiapannya. Mama tinggal menunggu sidang putusan.
“Selamat ya sayang. Kamu telah menjadi seorang istri sekarang,” Mama memelukku haru. Di acara paling penting dalam hidup seorang anak, seharusnya dihadiri orang tua. Mungkin itulah yang dirasakan mama sekarang.
“Mengapa kamu tidak membawa Aditya sekalian kesini. Mama ingin bertemu dengannya,” ucap Mama. Aku tercekat. Harus kujawab apa? Aku hanya terdiam. Diam memikirkan alasan paling tepat.