Perlahan kubuka kembali pintu kamar mandi. Sebelum melangkah keluar, aku terus memandang sekeliling, memastikan kalau Aditya benar-benar telah pergi.
Kacau. Bagaimana ini? Dia adalah pria pertama yang melihat auratku terbuka, tidak hanya rambut, tetapi yang lainnya juga. Aku menutup mukaku dengan kedua telapak tangan, dan menyesali keteledoranku.
Rasanya malu bertemu dengan Aditya lagi nanti.
Setelah menjenguk mama dan membawakan beberapa barang keperluan yang diminta mama, aku lanjut pergi kuliah. Aku sengaja mengulur-ulur waktu untuk kembali pulang. Aku pulang ke kontrakan dan selesai sholat Magrib baru kembali. Kuharap Aditya tidak sedang di kamar. Biasanya jam segini dia ada di ruang keluarga. Bu Diani dan pak Iswaya memang belum pulang, mereka ada pekerjaan meninjau lokasi pembangunan mini market mereka yang baru.
Aku melangkah perlahan. Nurna menyambutku di depan pintu.
“Apa Aditya sudah pulang?” tanyaku setengah berbisik.
“Sudah,” jawab Nurna.
“Dia di mana?” tanyaku, karena aku tidak melihatnya di ruang keluarga.
“Di kamar.” Nurna terlihat heran melihat ekspresiku yang kecewa mendengar jawabannya.
Aku menghela napas. Malas sekali untuk naik ke atas. Pasti rasanya canggung. Perlahan kulangkahkan kaki menaiki tangga ke lantai atas. Pelan sekali. Aku mendengar pintu kamar terbuka. Semoga saja dia keluar kamar. Aku mendongak ke atas. Dia tepat berdiri di tangga paling atas. Aku berhenti. Dia pun terdiam. Untuk beberapa saat kami saling menatap. Melihat tatapannya aku jadi ingat kejadian tadi pagi. Memalukan sekali.
“A-aku akan turun, kamu naiklah!” ucapnya gugup. Dia langsung mengalihkan padangannya ke arah lain.
Aku tidak menjawab apapun.
“Aku akan ke atas nanti kalau Papa sudah sudah pulang.” Dia memberi informasi tambahan. Mungkin dia hanya memberi kode kalau aku bebas di kamar sampai dia kembali.
Saat berpapasan dia terlihat kikuk. Melirikku sekilas lalu mengalihkan pandangan. Dia kenapa? Tidak biasanya dia terlihat gugup di hadapanku. Biasanya selalu sangar dan garang, seolah mau menunjukkan bahwa dialah yang berkuasa di sini.
Aku masuk ke kamar. Ada yang berbeda. Ada kelambu terpasang di sekeliling ranjang. Warnanya cantik. Cewek banget! Siapa yang memasang ini semua?
Saat masih diselimuti rasa penasaran, Nurma tiba-tiba masuk membawa beberapa helai kain dengan motif senada.
“Maaf ya, masih perlu lapisan tambahan biar tidak transparan. Aku akan memasangnya,” ucap Nurna.
“Siapa yang suruh Nur?” tanyaku.
“Tuan Aditya. Dia sengaja menelepon siang tadi untuk menyuruhku memasang ini semua. Apa ... kalian berdua akhirnya, saling jatuh cinta sungguhan?” selidik Nurna sambil senyum-senyum tidak jelas.
“Apaan sih. Ya nggak lah.” Nurna ada-ada saja.
“Boleh taruhan ya. Akan bertahan berapa lama, dua kutub berbeda yang di letakkan berdekatan mampu menghindar untuk tidak saling mendekat. Sebentar lagi juga bakal ....” Nurna menggantung kalimatnya, dan mengedip nakal ke arahku. Aku tertawa melihat ekspresinya.
“Nggak mungkin.” Bantahku. Lagian ini pasti hanya cara Aditya untuk memberiku ruang privasi agar saat tidur bisa lebih leluasa.
Nurma menyuruhku segera mandi. Dan memintaku segera turun karena dia telah menyiapkan makan malam.
Selesai mandi aku segera menyusul Nurna ke ruang makan. Aditya terlihat duduk sambil nonton televisi di ruang keluarga.
“Dia tidak makan?” tanyaku pada Nurna.