Part 4

2.1K 56 1
                                        

“Ay...Kamu dimana? Mama ditangkap polisi.” Kudengar suara Bakda di seberang sana bergetar diiringi tangis. ‘Mama?’ Dadaku langsung berdegup tidak karuan. Apa yang telah menimpa mama? Beberapa hari belakangan ini memang ada kecemasan tak beralasan kurasakan.

“Bu, saya sampai disini saja,” ucapku pada Bu Diani.

“Loh, kenapa? Ini masih jauh. Kamu ada keperluan mendadak? Biar Ibu antar sampai rumah.” Bu Diani memperlambat laju mobilnya. Dia melihat raut cemas di wajahku. Aditya juga menoleh ke arahku.

“Tidak usah Bu, saya sampai disini saja.” Aku langsung membuka pintu dan turun dari mobil.

“Yesha...Ada apa?” Teriakan Bu Diani kuabaikan. Suara Bakda di seberang sana masih sesenggukan. Antara percaya dan tidak. Duniaku terasa runtuh, kakiku seolah tidak menapak di tanah lagi. Bakda tidak mungkin bercanda. Serampangan kusetop angkot yang lalu lalang. Hanya satu tujuanku sekarang, kantor polisi.

Pikiranku sibuk menduga-duga apa yang menimpa mama. Kejahatan apa yang dilakukan mama, sehingga harus berurusan dengan polisi? Mamaku bukan orang jahat. Meskipun miskin mama selalu mengajarkan kejujuran pada kami. Hanya makan dari yang halal, itu selalu ditekankan mama. Ini pasti kesalahan. Polisi pasti salah orang. ‘Mama akan baik-baik saja,’ gumamku sambil menahan sesak di dada. Ingin rasanya menangis, tetapi tetap kutahan.

Aku sampai di kantor polisi. Tempat yang sangat asing. Belum pernah kujejakkan kaki di tempat ini sebelumnya. Beberapa orang pria berseragam cokelat lalu lalang. Aku kebingungan. Kemana kaki harus kulangkahkan sedangkan pikiranku masih tidak ditempatnya. Aku masih serasa bermimpi. Mimpi buruk.

“Ay....”

“Bakda.” Kususul adikku itu, yang tampak berdiri didepan sebuah ruangan bertuliskan, ruang penyidik. Matanya memerah, dia masih memakai seragam putih abu-abunya. Tubuhnya masih bergetar, aku tahu ini sangat berat untuknya, apalagi dia sangat rapuh. Kurangkul pundaknya yang kini mulai bergetar, air matanya kembali tumpah.

“Dimana Mama?” tanyaku.

“Sudah dibawa ke ruangan tahanan sementara,” ucapnya disela tangis. Kulepaskan pelukanku pada Bakda dan langsung kumasuki ruangan yang ada didepanku. Aku ingin meminta penjelasan. Mengapa mamaku bisa ditahan, ini pasti kesalahan.

“Mama kamu terlibat kasus penipuan,” jelas seorang penyidik yang memang bertanggung jawab menangani kasus mama.

“Bapak pasti salah orang. Mama saya bukan penipu Pak,” bantahku langsung. Polisi muda itu hanya tersenyum.

“Maaf Dek, tapi kami menerima banyak laporan tentang penipuan yang dilakukan Bu Rasuna bersama temannya,” tambah polisi itu lagi.

“Penipuan dalam hal apa Pak?” Jantungku berdebar, jangan-jangan ini ada kaitannya dengan bisnis baru mama?

“Penjualan perhiasan palsu,” jawab polisi itu. Aku terdiam, ternyata dugaanku benar. Dari awal aku sudah merasa aneh dengan pekerjaan mama. Mama tidak pernah membawa pulang barang dagangannya, sehingga aku tidak pernah tahu perhiasan seperti apa yang diperjualbelikan mama.

“Saya yakin mama saya tidak bersalah Pak. Dia tidak tahu apa-apa.” Aku kembali mengiba.

“Semua akan kita proses sesuai prosedur, Adek yang sabar ya,” hiburnya.

“Kalau Mama saya terbukti bersalah, berapa lama masa hukumannya?” Kuberanikan menanyakan pertanyaan itu. Padahal sebenarnya aku takut, seandainya jawabannya adalah yang kutakutkan. Tetapi aku perlu tahu, karena aku sangat buta hukum.

“Sesuai dengan pasal 378 KUHP, hukuman maksimal 4 tahun penjara,” jawab polisi itu. Aku menutup mulutku dengan tangan tidak percaya dengan apa yang kudengar. Tidak mungkin. Bakda yang berdiri di pintu masuk juga tampak sangat terpukul, dia langsung keluar dari ruangan. Aku mengatur napasku yang kini semakin sesak. Aku tertunduk dengan air mata perlahan menetes. Mengapa jalan hidup kami begitu berliku? Seandainya benar mama terbukti bersalah, empat tahun bukan waktu yang singkat. Apa yang bisa kami lakukan tanpa mama. Padahal hanya mama satu-satunya yang kami miliki sekarang.

PARASITE OF LOVETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang