“Ayesha?” ucap suara di seberang sana.
“Aku bersedia menikah dengan putra Ibu,” ucapku.
“Kamu serius?” kudengar nada tidak percaya dalam ucapan Bu Diani, sebab sebelumnya aku selalu bersikeras untuk tidak bersedia menyanggupi permintaannya itu. Aku terdiam sejenak, kembali memikirkan apa yang baru saja kuucapkan.
“Aku serius Bu,” jawabku.
“Waaaaa, terima kasih Ay. Terima kasih sudah mau menolong Ibu.” Bu Diani tidak dapat menyembunyikan perasaan senangnya, dia bahkan memanggilku Ay.
“Mulai sekarang Ibu panggil kamu Ay ya, biar kita semakin dekat. Sekali lagi terima kasih calon mantuku.” Kurasakan bulu kudukku berdiri mendengar Bu Diani mengucapkan kata mantu.
Setelah sambungan telepon dengan Bu Diani berakhir. Aku kembali terdiam. Pikiranku kosong. Kututup wajahku dengan kedua telapak tangan. Apa yang baru saja kulakukan?
Lorong di rumah sakit semakin sepi karena hari semakin larut. Aku masuk ke ruangan dimana Bakda di rawat. Adikku itu terlihat tidur. Wajahnya masih pucat. Aku mengambil kursi dan duduk disamping ranjang tempat dia berbaring. Selang infus nampak terhubung pada pembuluh balik dipunggung tangan kirinya. Dari kecil dia memang sering sakit, tetapi yang terparah bahkan sampai memerlukan rawat inap, baru kali ini. Memandangi wajah pucat Bakda membuatku kembali merasa sedih. Kasihan dia. Kugenggam jemari tangan kanannya. Apakah keputusanku ini tepat? Kembali kuteringat dengan apa yang baru saja kukatakan pada Bu Diani. Semua demi Bakda dan juga mama.
Aku menundukkan kepalaku, larut dengan berbagai macam pikiran yang berseliweran di otakku. Bu Diani pasti akan memenuhi janjinya, Bakda bisa kuliah sehingga tidak perlu stres lagi. Akupun bisa hidup lebih baik tanpa harus pusing memikirkan segalanya. Aku bisa fokus pada masalah mama. Selesai persidangan nanti, ketika masa hukuman yang harus dijalani mama jelas. Akupun bisa menata hidupku kedepan. Bu Diani juga menjanjikan akan mengualiahkanku jika aku mau. Tetapi, untuk semua itu harus kukorbankan masa depanku. Menikah dengan seseorang yang sama sekali tidak kucintai. Aditya. Rasanya baru saja aku menjual diriku.
Aku menutup mataku. Apakah jalan yang kupilih ini tepat? Hatiku kembali menimbang. Kalau tidak kuputusakan demikian, kepada siapa lagi kuakan mengadu. Sedangkan untuk menanggung semuanya sendiri, aku tidak sanggup. Kalau aku meminta bantuan Bu Diani, tanpa menyanggupi permintaannya, aku yakin dia pasti membantuku. Tetapi aku yang merasa segan dan tidak enak hati. Meminta bantuannya sedangkan permintaanya selalu kutolak. Sudahlah. Ini keputusan yang paling tepat. Apapun yang terjadi kedepannya, harus kuhadapi.
Menikah dengan Aditya? Bayangan wajah laki-laki dingin itu melintas di hadapanku. Ooh tidaaak. Apakah aku sanggup? Hatiku kembali ragu.
Sampai pagi, sepicingpun aku tidak bisa memejamkan mata. Otakku terus bekerja memikirkan semuanya. Semua yang akan kuhadapi kedepannya, sebagai konsekuensi dari keputusanku.
“Ay.” kulihat Bu Diani di pintu masuk. Semalam dia memang mengatakan akan berkunjung hari ini. Wajahnya terlihat sangat ceria, jauh berbeda dengan wajah tempo hari. Dia tersenyum lebar, menghampiriku dan langsung memelukku.
“Terima kasih Ay,” ucapnya lirih. Terlihat sekali dia sangat senang dengan keputusanku semalam. Bakda yang berbaring, menatap aneh ke arah kami berdua. Bu Diani menghampiri Bakda.
“Jangan terlalu banyak pikiran, kalau kamu tetap stres gangguan lambung kamu tidak akan sembuh,” nasehat Bu Diani pada Bakda sambil tersenyum. Bakda mengangguk.
“Kamu sayang Kakak kamu kan? Lihat matanya sudah cekung karena tidak tidur menjaga kamu semalaman,” tambah Bu Diani lagi sambil menggoda Bakda. Meskipun masih lemas, Bakda tersenyum mendengar nasehat Bu Diani.