Pagi saat bangun, aku keget melihat Bakda sudah 100 % sehat. Dia terlihat sangat rapi, tidak ada kesan pucat lagi di wajahnya.
“Kamu sudah baikan?” tanyaku.
“Sudah Ay.” Dia tersenyum, ternyata sumber segala penyakitnya memang stres. Stres memikirkan kelanjutan kuliahnya. Ketika harapan itu ada, hormon di tubuhnya langsung memerintahkan sistem imun untuk bekerja, sehingga dia langsung sehat.
“Oh ya Ay, aku masih penasaran, mengapa Bu Diani begitu baik membantu kita?” Bakda masih curiga.
“Kan sudah kubilang, dia menganggap kita sudah seperti keluarga,” jelasku.
“Bagaimana cara kita membalas semua budi baiknya kelak?” tanyanya lagi.
“Jangan pikirkan semuanya sekarang, cukup belajarlah yang rajin, kalau kamu telah menjadi laki-laki yang sukses, baru rencanakan cara membalas jasa Bu Diani,” nasehatku.
“Baiklah. Hari ini aku ke sekolah ya Ay. Setelah itu aku akan mengunjungi Mama,” ucapnya. Aku mengangguk. Rasanya bersyukur sekali melihat wajah itu kembali dihiasi senyuman keceriaan.
♫♫♫♫♫
Aku kebingugan menunggu Aditya, dia tidak jelas memberikan informasi tempat pertemuannya dimana. Kalau ditelepon, takutnya dia marah-marah. Jadi kutunggu saja dengan santai di gang depan.
[Aku akan jemput kamu]
Sebuah pesan WhatsApp datang dari Aditya. Pesannya kubaca namun tidak kubalas. Semoga dia kesal.[Aku tahu kamu sudah baca pesannya. Tolong kirim alamat kamu! Segera]
Pesan berikutnya masuk lagi. Tuh kan, dia kesal. Lagian dia tidak minta dikirimkan alamat, mengapa aku harus mengambil inisiatif sendiri? Sebelum dia tambah kesal, langsung kukirim alamat lengkapku. Apa yang ingin dibicarakannya denganku? Sehingga dia rela jauh-jauh menjemputku.Tidak berselang lama, dia datang. Sebuah mobil berhenti tepat di depanku. Dia menurunkan kaca mobilnya. Aku membungkukkan badan memastikan apakah benar laki-laki yang ada di dalam mobil itu, dia.
“Ayo cepat naik!” ketinggian nada suaranya stabil.
Aku mengikuti perintahnya. Seperti adegan penculikan di film-film, dia langsung mengemudikan mobilnya dengan kencang. Kaca mobil langsung diturunkannya, dia juga sengaja memakai kaca mata hitam, agar wajahnya tidak dikenali. Kemana dia akan membawaku?
Setelah memacu mobil dengan kecepatan tinggi sekitar 15 menit, kami sukses keluar dari kota. Entah dimana ini, yang jelas tempatnya sepi. Ada sebuah jembatan besar di depanku dan dibawahnya mengalir sungai dengan aliran deras. Nyaliku ciut juga saat menyadari posisiku sekarang. Jangan-jangan dia ada niat jahat tertentu denganku. Sebuah pembunuhan berencana misalnya dan guna menghilangkan jejak dia akan membuang jasadku kedalam sungai. Aku jadi merinding.
“Ayo turun!” Dia kembali memerintahku. Aku menuruti perintahnya. Dia berjalan ke atas jembatan. Aku mengikutinya dengan langkah sehati-hati mungkin. Jalanan sangat sepi, hanya sesekali kendaraan terlihat melintas.
“Ini!” Saat aku sampai di dekatnya, dia menyodorkan sebuah buku tabungan ke tanganku. Aku menerimanya dengan mulut melongo. Apa ini?
“Ayo buka!” perintahnya lagi. Aku membuka buku kecil berisi angka-angka berarti itu. Mataku terbelalak saat melihat saldo terakhirnya. ‘ 200 juta?’ Seumur hidup baru kali ini kumelihat buku tabungan dengan saldo sebesar itu. Saldo tabunganku terbanyak saja angkanya kurang 3 digit dari itu. Dan itupun hanya bertahan beberapa minggu, setelah itu kutarik lagi.
“Ini? Apa?” tanyaku polos.
“Apakah jumlah itu cukup?” tanyanya. Keningku berkerut. Apa maksudnya?