Sudah lama juga sejak hari itu aku tidak bertemu dengannya. Dia sedikit kelihatan kurus sekarang, pipinya tirus. Aku lupa kalau gang depan kontrakanku ini adalah jalur biasa yang selalu dilintasi Bang Hafid untuk pergi dan pulang dari mesjid.
“Hai, apa kabar?”
Dia langsung menghampiri Aditya dan menyalaminya. Seperti seorang teman lama. Padahal baru kemarin mereka bertemu dan saling bicara.“Kalian berdua tinggal di sini sekarang?” tanyanya. Dia mencoba bicara sesantai mungkin. Seolah tidak pernah terjadi apa-apa diantara kami. Bang Hafid memang pintar menyembunyikan perasaannya.
“Iya. Bang.”
“Bagus, jadi kita bisa lebih sering bertemu. Datanglah ke mesjid, kita sholat sama-sama!” ajaknya pada Aditya sambil tersenyum.
Aditya masih berdiri kaku. Tidak bisa bicara, hanya bisa mengangguk sambil tersenyum.
“Kalau begitu. Abang pergi dulu ya Ay. Assalamualaikum,” pamitnya.
“Waalaikumsalam.”
Aku memandangi Bang Hafid yang semakin menjauh. Aditya melambai-lambaikan tanganya di depanku.
“Nggak berkedip. Masih terpesona?”
Aditya memasang muka masam.“Sepertinya kita harus segera cari kontrakan lain yang jauh dari sini.”
“Cemburu ya?” godaku.
“Nggak. Siapa juga yang cemburu.”
Dia berjalan mendahuluiku.“Oh ya bagaimana soal rencana menginap tadi? Jadi atau tidak?”
Aku bergelayut manja di lengannya. Dia berhenti melangkah. Aku mengedip-ngedipkankan mataku. Menggoda.Mukanya merah. Malu.
“Malu dilihat orang,” ucapnya menyembunyikan wajah.
“Tidak marah lagi kan?”
Dia menggeleng.Aku menggenggam jemarinya sampai ke depan mobil. Mulai sekarang aku harus bisa menjaga perasaan Aditya. Tadi itu, aku bukannya terpesona dengan Bang Hafid, seperti biasa. Aku hanya merasa iba dan kasihan. Aku mendoakan Bang Hafid, agar segera menemukan jalan bahagianya juga.
“Mengapa belum jalan?” tanyaku. Saat kami telah di dalam mobil dan dia masih diam.
“Ada satu lagi yang mengganjal hatiku.”
“Apa?” Apa masih soal Bang Hafid.
“Kamu panggil apa dia tadi?”
Aku tahu maksudnya pasti Bang Hafid.“Bang Hafid,” jawabku polos. Tidak paham kemana arah tujuan pertanyaannya.
“Kalau aku?”
“Aditya,” jawabku heran. Entah apa yang diinginkannya kali ini.
“Tuh kan.” Dia menelungkupkan wajahnya di atas kemudi.
Oo aku paham sekarang. Dia juga mau dipanggil abang.
“Kamu mau aku panggil kamu Abang juga?” tanyaku. Dia tidak menyahut. Aku mentoel pipinya dengan ujung telunjukku. Dia malu. Lucu sekali.
“Baik lah. Mulai sekarang aku panggil kamu. Bang Adit.”
“Ayo Bang, kita berangkat sekarang?” godaku.
“Baang. Bang Adit...” ulangku lagi dengan nada paling manja. Dia terlihat geli mendengarku berucap demikian.
“Sudah, tidak usah panggil abang. Panggil Aditya saja,” ucapnya sambil menjalankan mobil. Mukanya merah menyala. Aku baru tahu dia laki-laki yang menggemaskan, selama ini dia hanya menunjukkan sisi dingin dan menyebalkannya saja padaku.