#PARA
"ADITYAAAA," pekikku geram.
Pasti ini ulahnya. Pria itu sangat menyebalkan. Kuteliti pesan itu sekali lagi. Semua hurufnya kapital. Bang hafid bisa salah sangka padaku.
Tunggu. Belum centang biru. Pesannya belum di baca. Segera kuhapus pesan itu. Syukurlah. Bang Hafid bisa syok membacanya. Belum pernah aku bicara atau membalas pesannya dengan kata-kata kasar.
Aku segera mandi dan berkemas. Berdandan dengan memakai baju syar'i seperti minggu lalu. Tidak salah memang ketika Kak Rosita mengatakan kalau aku cantik dengan dandanan seperti ini. Semoga saja untuk berikutnya bisa selalu seperti ini. Jauh lebih anggun.
Setengah berlari aku menuruni anak tangga. Aku akan terlambat. Bukannya apa-apa, tetapi segan saja, jika semuanya telah berkumpul dan aku datang belakangan. Seharusnya aku datang lebih awal.
Aku berpapasan dengan pria berwajah karismatik menyebalkan itu di tangga. Wajahnya datar. Seolah tidak melakukan salah apa-apa. Aku pun tidak ingin berdebat dengannya sekarang. Aku bahkan tidak pamit dengannya. Hatiku masih panas. Beraninya dia membajak gawaiku.
Aku sampai di mesjid tempat pengajian diadakan. Benar saja. Aku terlambat. Semuanya telah berkumpul. Aku masuk dan langsung bergabung. Pembicara hari ini seorang ustadzah yang memang telah terkenal di lingkungan kami. Kak Rosita pernah mengatakan akan memvariasikan topik kajian setiap minggunya.
Kak Rosita tersenyum ke arahku.
"Maaf Kak. Aku terlambat," ucapku. Ini semua karena ulah Aditya.
Materinya hak suami terhadap istri. Meskipun sebagian besar anggota kelompok pengajian ini adalah para gadis, materi ini penting untuk persiapan karena semuanya pasti akan menikah kelak.
"Kamu punya pertanyaan? Tanyakanlah!" bisik Kak Rosita.
Aku menggeleng. Semua yang di bahas tidak pernah kukerjakan sebagai istri. Aku memang termasuk golongan istri-istri durhaka. Tetapi Aditya kan juga suami durhaka.
"Bertanyalah, siapa tahu sebentar lagi ada yang akan mengkhitbah kamu." Kak Rosita tersenyum menggodaku.
Akupun hanya tersenyum. Menghitbahku? Mengkhitbah wanita bersuami. Aku menelan ludah. Bisa gawat kalau hal itu terjadi. Tetapi, bisa saja hal itu terjadi, karena banyak yang tidak tahu dengan pernikahanku. Aku pun selalu menyembunyikannya. Adik kandungku saja tidak tahu.
Setelah makan siang dan sholat zuhur berjamaah kegiatan berakhir.
"Ayesha. Kamu belum pulang?" tanya Kak Rosita. Aku menggeleng.
Semua anggota yang lain telah pulang. Aku sengaja ingin mengulur waktu untuk tidak sampai di rumah terlalu cepat. Karena yang akan bertemu pasti wajah menyebalkan Aditya.
Aku membantu Kak Rosita membersihkan mesjid. Sampai gawaiku berbunyi. Foto dan nama Bang Hafid muncul di layar. Kak Rosita yang ada di sampingku juga melihatnya.
"Assalamualaikum Bang," sapaku.
"Waalaikum salam Ay. Kamu dimana? Bisa kita bicara?" tanyanya.
Aku sedikit berdebar, bukankah pesannya tidak sampai. Nada suara Bang hafid tidak seperti biasanya. Kali ini dia terdengar serius. Aku memutuskan sambungan setelah menyetujui bertemu di kantornya.
"Kamu beruntung Ayesha. Ada pria baik yang sangat peduli denganmu. Kakak jadi iri," ucap Kak Rosita sambil tersenyum. Mengapa senyumnya kutangkap mengandung kepedihan?
Aku membalas senyum Kak Rosita dan pamit padanya. Apakah Kak Rosita menyukai Bang Hafid? Dari dulu mereka memang berteman. Mungkinkah pria yang ditunggu Kak Rosita adalah Bang Hafid?