Aditya terlihat kaget melihat sikapku yang tiba-tiba.
“Aku tidak mau berpisah. Aku menyukaimu. Tidak ada laki-laki lain di hatiku, hanya kamu. Kamu salah menyangka jika aku tersiksa selama ini. Aku justru sangat menderita saat kamu jauh. Tolong dengarkan aku, jangan salah paham lagi, hari itu aku bukannya akan meng-iyakan lamaran Bang Hafid. Aku justru akan jujur padanya kalau aku telah memiliki kamu.”
Apa yang kusimpan akhirnya keluar juga. Mengalir lancar. Napasku sampai ngos-ngosan. Aditya melepaskan pegangannya pada kenop pintu dan menyentuh tanganku yang sekarang melingkar di pinggangnya. Dia berusaha melepaskan dekapanku dan memutar tubuhnya ke arahku.
“Jangan berbalik! Tetaplah seperti ini.”
Aku malu menatapnya sekarang. Pipiku bersemu merah. Aku lega telah mengungkapkan isi hatiku yang awalnya begitu sulit diutarakan. Aditya tetap diam membiarkan wajahku tersandar di punggungnya.
“Apa sekarang aku boleh berbalik?” ucapnya sambil menyentuh tanganku lembut setelah beberapa menit. Aku melonggarkan dekapanku. Sekarang dia membalikkan tubuhnya. Kami berdiri berhadapan, begitu dekat. Aku menunduk, tidak mampu mengangkat wajah.
Kedua tangannya memegang wajahku dan mengangkatnya hingga sekarang mata kami bertatapan. Dia menghapus sisa air mata yang tadi membasahi pipiku. Tanpa banyak bicara dia mencondongkan tubuhnya semakin mendekat dan mendaratkan ciuman di keningku.
“Terima kasih, kamu telah berani mengakui.”
Sekarang dia memelukku erat. Aku membalas pelukannya. Jauh lebih erat. Seakan tidak ingin dipisahkan.
“Maafkan aku yang dulu pernah menyakiti kamu dan selalu membuatmu berada di posisi sulit,” bisiknya.
Aku sudah melupakan semuanya. Hubungan kami memang diawali dengan niat yang salah, tetapi ini juga lah yang mengantarkan kami pada perasaan saling mencintai pada akhirnya. Jalan jodoh itu memang unik.
“Lalu bagaimana dengan Hafid?”
Aditya melepaskan pelukannya dan memegang bahuku.
“Aku tidak menemuinya lagi setelah hari itu,” ucapku.
“Biar besok aku yang menemuinya dan menjelaskan semua. Akan lebih mudah urusannya jika laki-laki bicara sesama laki-laki, dia pasti bisa mengerti karena aku tahu dia orang baik.”
Ucapan Aditya menenangkanku. Aditya benar. Tidak adil juga menolak Bang hafid dengan cara tidak santun seperti kemarin.
“Jadi ... apa yang dikatakan mama itu benar? Kamu begitu semangat menunggu aku pulang? Sampai beres-beres kamar segala?”
Dia menginterogasiku. Aku mengalihkan pandangan ke arah lain. Malu, sungguh sangat malu.
“Tidak usah malu.”
Dia kembali memelukku gemas. Sekarang dia mengangkat daguku. Jantungku berdebar, apa yang akan dilakukannya? Perlahan dia mendekatkan wajahnya. Apa dia akan menciumku? Meskipun aku sempat memimpikan adegan ini, tetapi rasanya belum siap. Aku gugup sekali.
Tinggal satu inci lagi. Badanku panas dingin.
“DIT?”
Pintu tiba-tiba terbuka. Kepala aditya sampai terantuk ke daun pintu, karena kami memang tepat berada di belakangnya.
“Aduh!” Aditya meringis kesakitan.
“Apa yang kalian lakukan?”
Kepala Bu Diani menyembul dari balik pintu, dia merasa heran dengan tingah kami yang gelagapan, seperti sedang kedapatan mencuri sesuatu.