Bang Hafid syok dengan tatapan tidak percaya. Dia pasti bingung. Aditya terus menarik tanganku. Aku tidak bisa mengelak.
“Ay ...”
Bang Hafid mengejarku setelah lama terpaku. Aku sudah sampai di dekat mobil Aditya.
“Cepat, masuklah!”
Aditya membukakan pintu untukku. Mataku masih menatap Bang Hafid dengan perasaan bersalah. ‘Maafkan aku Bang, lain kali akan kujelaskan semuanya.’ Sebelum masuk ke dalam mobil masih kulihat kedua laki-laki itu saling bertatapan. Semuanya kacau.
Aditya memacu mobilnya dengan kecepatan tinggi. Meninggalkan Bang Hafid yang masih berdiri diam. Aku tahu bagaimana perasaan Bang Hafid sekarang.
Saat Bang Hafid tidak lagi dalam jangkauan pandanganku, aku beralih menatap Aditya. Wajahnya memerah menahan marah. Dari mana dia tahu kalau aku sedang bersama Bang Hafid? Apakah dia benar-benar marah?
‘Aku suaminya.’ Ekspresi dan nada suaranya saat mengucapkan kata-kata itu sangat meyakinkan, kalau dia memang seorang suami yang sedang marah besar, karena mendapati istrinya dilamar laki-laki lain. Apakah dia sungguh-sunggung mengucapkannya? Aku tidak berani berucap satu patah kata pun.
Meskipun awalnya pernikahan kami dibangun atas dasar alasan yang salah, tetapi semakin ke sini aku merasakan kalau kami memang pasangan sungguhan. Ada rasa bersalah kurasakan saat berduaan dengan Bang Hafid. Perasaan telah menghianati Aditya.
“Kamu masuklah duluan!” perintahnya saat mobil telah berhenti di halaman.
Aku menurut. Setelah aku turun dari mobil, dia kembali berputar dan melaju ke arah luar. Lagi-lagi dia memacu mobilnya dengan kecepatan tinggi. ‘Dia mau kemana?’
Dengan langkah gontai aku melangkah menuju kamar. Sekarang pikiranku jauh lebih kacau dari sebelumnya. Mengapa Aditya harus hadir disaat penting seperti tadi. Seandainya Aditya tidak datang, aku bisa menjelaskan semuanya pada Bang Hafid. Kalau kujelaskan dengan baik Bang Hafid mungkin akan mengerti. Tetapi sekarang? Kacau sudah.
Aku membuka pintu kamar, dan melihat map kuning yang awalnya telah kusimpan rapi diantara buku di atas meja belajarku, sekarang berada di atas meja di dekat sofa. Aditya menemukannya dan telah membacanya.
Aku terduduk dengan perasaan yang tidak bisa dilukiskan. Bagaimana kalau Aditya kembali menemui Bang Hafid? Dia sengaja mengantarku pulang duluan, setelahnya dia balik lagi. ‘Semoga saja tidak terjadi apa-apa dengan mereka berdua.’ Aku sama sekali tidak merasa bangga diperebutkan dua laki-laki itu, aku justru merasa hina karena telah menjadi seorang istri penghianat. Berhianat pada suami sendiri, karena masih tebar pesona pada laki-laki lain, sehingga laki-laki itu mantap untuk melamar.
Malam telah menjelang, Aditya belum juga pulang. Aku semakin cemas. Jangan-jangan apa yang menjadi ketakutanku tadi menjadi kenyataan. Aku hanya bisa menunggu karena tidak berani menghubungi Aditya maupun Bang Hafid.
Sudah jam 10. Aku terus mondar mandir di depan pintu kamar.
“Aditya belum juga pulang Ay?”
Aku dikagetkan suara Bu Diani. Tadi aku sengaja berbohong pada Bu Diani, mengatakan kalau Aditya ada janji dengan temannya. Meskipun Bu Diani terus bertanya, teman Aditya yang mana. Karena Bu Diani tahu, anaknya itu tidak punya banyak teman.
“Belum Bu,” jawabku.
Bu Diani segera menghubungi Aditya, beberapa kali dicoba namun tidak diangkat. Aku semakin cemas.
“Mungkin dia sedang mengendarai mobil. Kamu istirahat saja dulu, sebentar lagi dia pasti pulang.” Bu Diani menenangkanku. Aku mengangguk dan kembali masuk ke dalam kamar.